welcome

We kindly serve you, find your identity in Indonesia

history

Indonesia has strong historical roots, has a priceless masterpiece

Floating market

The uniqueness is a part of Indonesian life

metropolitan

Indonesia has a magnificent way of life

culinary

have a high culinary taste since antiquity

pray

the source of all sources of life is god

Romantic

the source of all sources of life is god

Tampilkan postingan dengan label seni dan budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seni dan budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Maret 2013

jejak kerajaan majapahit di candi cetho


12903126641672861135Candi Cetho ini terletak di dusun Cetho Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karangayar, terletak pada 1400m di atas permukaan air laut. Dari Magetan tempat ini ditempuh dengan kendaraan pribadi selama 2 jam perjalanan, melewati jalan tembus Cemoro Sewu yang siang itu terlihat mulus dan tidak begitu ramai, maklum bukan hari libur. Awalnya saya pikir bahwa Candi ini letaknya tidak jauh dari air Terjun Grojogan Sewu Tawangmangu, ternyata perkiraan saya salah besar.
Dari Tawangmangu mobil terus melaju ke arah kota Karanganyar, menyusuri jalanan khas pegunungan yang curam dengan kelokan-kelokan tajam, terus melaju melewati Patung Semar di Karang Pandan. Tidak jauh dari tempat itu ada pertigaan, dan mobil membelok ke kanan. Membelah desa-desa di wilayah kecamatan Kemuning. Maaf saya tak sempat menghafal desa mana saja yang kami jelajahi, karena terus terang saya ngeri dengan medan yang harus kami lewati. Di salah satu gate ada petugas menghentikan, kami membayar retribusi untuk kendaraan seharga Rp 5.000,00. Begitu melewati gate itu saya baru tahu bahwa gate itu merupakan pintu masuk untuk tiga lokasi wisata yaitu Candi Sukuh, Candi Cetho dan Air Terjun Jumog.
12903127641829422237Semakin jauh, jalan semakin menanjak, mobil mulai memasuki perkebunan teh, yang siang itu terlihat sangat indah. Mobil meliuk-liuk membelah perkebunan teh, melingkari bukit-bukit hijau, kadang membelok tajam dan harus mampu melewati tanjakan-tanjakan setan yang luar biasa menantang, untung skill mengemudi teman saya bisa diandalkan. Sepanjang mata memandang hanya “hijau” yang kami temukan. Satu putaran lagi, kata teman saya, candinya ada di puncak bukit itu, begitu katanya sambil menunjuk sebuah bukit di depan sana. Oh God…Lindungilah Kami, jalannya kecil dan ada sebagian ruas yang tertimbun tanah karena longsoran dari bukit diatasnya.
1290312848830983241Dengan perjuangan, akhirnya sampai juga di sana, memasuki dusun Cetho mobil membelok ke kiri, dan salah satu gapura candi terlihat begitu menantang. Tiket masuk ke candi seharga Rp 4.000,00 per orang.
Menurut http://id.wikipedia.org, candi Cetho ini dibangun pada akhir masa Kerajaan Majapahit (sekitar abad ke 15). Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho. Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.
1290312954815929311Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut “kuntobimo”) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
12903130411080350460
12903131371975548203
Satu per satu aras saya lewati, dengan tidak melewatkan setiap detail yang ada di sana. Siang itu sepanjang perjalanan mengelilingi candi, kabut tak henti-hentinya turun, langit mendung sepanjang hari, tak ada langit biru. Semakin tinggi, semakin terasa hembusan anginnya. Brrrrrrr…dingin terasa di kulit.
1290313260392256712
129031332656427818
Kini, sampailah saya di aras ke delapan. Aras kesembilan tertutup untuk umum, pintu pagar kecil terlihat terkunci. Dan disinilah saya sekarang, memandang jauh ke bawah, menyaksikan kembali jalan-jalan yang sudah saya lewati. Saya merasa terlempar ke masa yang berbeda, memasuki negeri di atas awan. Hmmmmmmmm….sendu dan senyap. Maka tak heran jika sampai sekarang Candi ini masih digunakan untuk upacara keagamaan, khususnya agama Hindu.
Sepanjang mata memandang, banyak sekali saya temukan pahatan kasar berbentuk penyu, karena penasaran akhirnya saya bertanya ke juru kunci. Akhirnya sang Juru Kunci berkata bahwa penyu merupakan perlambang akan penyuwunan/penjalukan  yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai permintaan atau permohonan kepada Sang Maha.
sumberhttp://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan
1290313578428168619

Kenapa Candi Sukuh Karang Anyar dan kuil Chichen Itza desainnya sama?

Pernahkah Anda menyadari bahwa piramida-piramida yang ada di muka bumi ini mempunyai tema bentuk yang sama, yaitu besar di bawah dan mengerucut ke atas.

Menurut penjelasan Jason Martell, seorang penulis dan pemerhati masalah seputar
keanehan di dunia menjelaskan bahwa banyak struktur piramida yang memiliki bentuk sama walaupun didirikan oleh suku yang berbeda dan berjarak sangat jauh.

Contohnya adalah piramida di Montevecchia, Italia, memiliki bentuk dan ukuran hampir mirip dengan piramida Giza di Mesir. Piramida Chichen Itza, Yucatan, Meksiko dan candi Sukuh, Indonesia, juga memiliki struktur desain bangunan yang sama. Begitu pula dengan candi-candi Hindu di Kamboja memiliki kemiripan dengan candi Tikal suku Maya.

Seperti yang ditampilkan di salah satu video unggahan American Unearthed di YouTube, analisa Martell tersebut juga didukung oleh penjelasan dari Giorgio A Tsukalos, seorang penerbit di Times Magazine. Tsukalos mengatakan bahwa ada kemungkinan bahwa bangsa-bangsa kuno diajarkan cara membangun piramida atau candi tersebut oleh 'satu guru' yang sama.
Memang tidak dijabarkan siapa yang dimaksud dengan 'guru yang sama' tersebut. Namun, dari penjelasannya tersebut mengerucut pada eksistensi makhluk luar angkasa atau alien-lah yang mengajarkan struktur bangunan-bangunan tersebut.

Bahkan desain dari Annunaki yang banyak terpahat di bangunan Mesir kuno juga memiliki bentuk yang sama seperti salah satu hewan pewayangan bernama Jatayu, dalam kisah Ramayana.

Namun, sampai sekarang para peneliti dan arkeolog masih belum berani menjadikan kemiripan-kemiripan tersebut menjadi satu teori baku. Mereka juga masih menyelidiki apa fungsi utama dibuatnya piramida serta kenapa desainnya mengerucut ke atas.
sumber : http://www.merdeka.com/teknologi/kenapa-candi-sukuh-dan-kuil-chichen-itza-desainnya-sama.html

Selasa, 19 Februari 2013

Ternyata Benar Benua Atlantis Di Indonesia


“Atlantis The Lost Continents Finally Found”. Dimana ditemukannya ? Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia (?!). Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari yang Kuasa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.
Pencarian dilakukan di Samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata. Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya..
Prof. Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology. Buku Santos sewaktu ditanyakan ke ‘Amazon.com’ seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa. Bukunya ini terlink ke 400 buah sites di Internet, dan websitenya sendiri menurut Santos selama ini telah dikunjungi sebanyak 2.500.000 visitors. Ini adalah iklan gratis untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke dunia luar, yang tidak memerlukan dana 1 sen pun dari Pemerintah RI.
Plato pernah menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World). Sampai saat ini belum dapat dideteksi apakah sang ahli falsafah ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fable, science fiction, ataukah sebenarnya dia menceritakan sebuah kisah sejarah. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut ?
Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga.
Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius. Yang kuasa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang sedemikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu.
Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang diceritakan dalam bahasa setempat. Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11.600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat.
Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari species mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua species manusia : Neandertal dan Cro-Magnon.
Sebelum terjadinya bencana banjir itu, pulau Sumatera, pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.
Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari ‘Ring of Fire’.
Gunung utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah Gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan Gunung Toba). Gunung lain yang disebut-sebut (dalam kaitannya dengan kisah-kisah mytologi adalah Gunung Semeru, Gunung Agung, dan Gunung Rinjani.
Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar yaitu selat Sunda yang jadinya memisahkan pulau Sumatera dan Jawa.
Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah diantara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, diantara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan. Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) .
Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.
Gletser di kutub Utara dan Eropah kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter diatas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam dibawah muka laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.
Tekanan air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi selanjutnya dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya Zaman Es Pleitocene secara dramatis.
Dalam bukunya Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dari sekarang.
Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di katulistiwa.
Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…”. Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.
Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.
Walau dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.
Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Aryan dan Dravidas.
Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eurasia dan ke Timur sampai Auatralia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.
Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, metal berbagai jenis, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya. Menurut Santos, hanya Indonesialah yang sekaya ini (!). Ketika bencana yang diceritakan diatas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika.
Suku Aryan yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. . Karena glacier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestin, Afrika Utara, dan Asia Utara.
Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.
Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi cuci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut.
Suku Dravidas yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia. Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution.
Bahasa-bahasa dapat ditelusur berasal dari Sansekerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik. Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia.
Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Junani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.
Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia. Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternative lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matrix yang disebutnya sebagai ‘Checklist’.
Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Profesor Santos ini sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia. Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas.
Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun. Contoh kecilnya, ya perbandingan yang sangat populer tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana 30 tahunan yang lalu mereka masih belajar dari kita, dan sekarang mereka relatif berada di depan kita.
Allah SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang dipergilirkan. Yang mulia suatu saat akan menjadi hina, dan sebaliknya. Profesor Santos akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna membuktikan teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan mampu membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut di Indonesia.
Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia ? Bagaimana pula pakar Indonesia dari berbagai disiplin keilmuan menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi sangat terhormat : sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia ini ?
Coba kita renungkan penyebab Atlantis dulu dihancurkan : penduduk cerdas terhormat yang berubah menjadi ambisius serta berbagai kelakuan buruk lainnya (mungkin ‘korupsi’ salah satunya). Nah, salah-salah Indonesia sang “mantan Atlantis” ini bakal kena hukuman lagi nanti kalau tidak mau berubah seperti yang ditampakkan bangsa ini secara terang-terangan sekarang ini.


Demikian kutipan dari Catatan Bang Ferdy Dailami Firdaus tentang Teori Santos secara ringkas. Bagi yang berminat untuk membaca lebih jelas, dapat langsung ke website Profesor Arysio Nunes Dos Santos – Atlantis The Lost Continent Finally Found http://www.atlan.org/ (badruttamamgaffas.blogspot.com)

Minggu, 17 Februari 2013

Upacara Kasodo dari suku Tengger



Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar gunung Bromo, Jawa Timur, menempati sebagian wilayah kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri.

Seorang suku Tengger, bapak Suyatno mengatakan bahwa, masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual tanah (ladang) pada orang lain. Hasil pertaniannya yaitu, kentang, kubis, semen (bunga Kubis), wortel, tembakau dan jagung. Jagung merupakan makanan pokok suku yang memeluk agama Hindu ini.

“Selain bertani, masyarakat di sini berprofesi sebagai porter (pengangkut barang) di gunung Semeru dan pemandu wisatawan di gunung Bromo dengan menawarkan kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan,” imbuh laki-laki yang berprofesi sebagai porter ini.

Suku yang berdiam di Bromo ini sangat mudah dikenali karena selalu menggenakan sarung, dalam istilah mereka disebut kawengan. Sarung digunakan sebagai baju atau jaket penghangat dari serangan angin dingin yang menusuk tulang, selain harganya murah, sarung mudah didapat dibandingkan pakaian hangat lainnya.

Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama lain yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Katolik.

Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasodo. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku keturunan Joko Seger dan Roro Anteng ini.

Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan adat juga agama dan meyakini bahwa mereka keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal-usul nama Tengger.

Bagi suku Tengger, gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung tersebut.

“Prosesinya diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa” tutur pria yang biasa disapa pak Yatno ini.

Upacara Kasodo diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng-Jaka Seger di panggung terbuka desa Ngadisari. Kemudian tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun (sesepuh agama) dan pemberkatan umat di lautan pasir gunung Bromo.

Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan dan memimpin upacara-upacara ritual. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra. Mereka percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan merupakan mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.

Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek (wadah) yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung Bromo menuju sisi kawah. Sesaji dilemparkan ke dalam kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Di sisi bagian dalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk Tengger yang tinggal di pedalaman, mereka jauh-jauh datang ke gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar.

Penduduk melempar sesaji berbagai macam hasil bumi dan ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih terhadap Tuhan atas hasil pertanian dan ternak yang melimpah.

“Aktifitas ritual yang berada dikawah gunung Bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang pada hari Kasodo Bromo,” Tandas pak Suyatno.

Sumber: HIMPALAUNAS.COM - MALANG

Rabu, 13 Februari 2013

5 Desa Wisata Yogyakarta Wajib Dikunjungi

Wisata alam pedesaan memang mempunyai keistimewaan tersendiri, mulai keindahan alam dan hijaunya hamparan area persawahan, serta berbagai macam kegiatan yang bisa dilakukan seperti membajak sawah, menanam padi, beternak, memanen padi dan menikmati pertunjukan seni dan kebudayaan menjadi hal menarik yang bisa kita lakukan dan kita nikmati. Wisata desa bisa anda jadikan tempat untuk menenangkan pikiran jauh dari kehidupan kota, dan bisa anda jadikan wisata edukasi bagi anak- anak anda untuk lebih mengenal kehidupan desa yang ramah tamah dan mempunyai kpribadian yang baik. Berikut adalah 5 wisata desa yang menarik anda kunjungi, tentunya dengan keunikan dan keistimewaanya yang sangat luar biasa.
1.Desa wisata Pentingsari
Desa penting sari menawarkan kenyaman, keindahan, dan pertunjukan kesenian yang istimewa, di desa ini anda juga bisa untuk singgah sementara lepas dari kehidupan kota dengan disediakanya home stay. desa pentingsari cocok untuk berlibur keluarga, untuk menambah kebersamaan dengan melakukan berbagai kegiatan dan berbagai fasilitas yang disediakan didesa ini. Berbagai macam obyek wisata dan benda bersejarah yang bisa anda nikmati didesa ini akan memberikan pengalaman baru yang tidak mungkin anda dapatkan diperkotaan, berbagai macam benda bersejarah dan obyek wisata yang bisa anda nikmati seperti, (pancuran suci sendangsari) , (luweng), (Rumah joglo), (Wisata lingkungan) menikmati indahnya alam pedesaan lengkap dengan area persawahan, udara yang sejuk, sungai yang bergemricik, dan pemandangan petani yang sedang membajak sawah dan menanam padi, merupakan harmonisasi yang bisa membuat anda merasa nyaman berada disini. Selanjunya (batu dakon), (ponteng) dan ( batu persembahan) , Didesa penting sari anda juga bisa menikmati berbagai macam pertunjukan budaya daerah khas masyarakat setempat. Berbagai macam kegiatan seperti outbound, bajak sawah, memancing, sepakbola lumpur, dan panen padi bisa anda nikmati disini tentunya dengan berbagai berbagai harga sewa.
2. Desa Wisata Sidoharjo
Perbukitan manoreh yang begitu indah , alami dan kesejukan udara khas pegunungan, itu semua yang ditawarkan di desa wisata sidoharjo, Desa wisata sidohajo menawarkan berbagai macam kegiatan yang bisa anda lakukan, mendekatkan diri dengan alam dan penduduk sekitar tentunya menjadi proritas utama sebagai tempat wisata yang ditujukan untuk itu. Menjelajahi alam memang sangat menyenangkan terutama wilayah wilayah perbukitan perbukitan manoreh dan lokasi desa wisata ini, dalam kegiatan penjelajahan alam, anda bisa menemukan  curug atau dalam bahasa Indonesia air terjun”air terjun sidoharjo”. yang mempunyai tinggi 75 meter, selain itu anda juga bisa menemukan gua lawa(kelelawar), yang merupakan gua yang terbentuk dari batuan besar yang diapit oleh sungai. Flora dan fauna langka juga terdapat dihutan disekitar desa ini, seperti ratusan monyet ekor panjang yang merupakan hama dari perkebunan yang dimiliki warga, selain itu macan tutul, luwak, musang, trenggiling, biawak dan garangan juga ada disini, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Seperti halnya desa wisata lainya didesa wisata sidoharjo anda akan dihibur dengan pertunjukan kesenian daerah mulai dari jathilan sampai denga karawitan akan setia menghibur anda.
3. Desa Wisata Ketingan
Yang paling menarik yang bisa anda lakukan didesa ini adalah, meneropong dan melihat aktifitas burung kuntul putih dari gardu pandang, waktu yang pas jika anda ingin melihat burung kuntul putih pada waktu pagi dan sore, saat pagi burung kuntul ini melakukkan aktivitas dengan berterbangan keluar desa dengan bergerombol, sedangkan waktu sore hari burung kuntul putih akan kembali pulang kedesa ketingan ini,  Selain itu saat bulan purnama anda akan melihat tingkah laku burung kuntul yang unik, burung kuntul putih ini akan berterbangan dari sore hingga malam diatas desa ketingan, desa ketingan memang  sudah menjadi habitat dan rumah bagi burung kuntul putih karena keadaan desa yang masih terdapat pohon- pohon yang menjulang tinggi dan rimbun yang bisa digunakan untuk bersarang, tentunya ini akan menjadi hal yang sangat menarik untuk anda lihat bersama keluarga dan anak- anak anda. Selain kegiatan meneropong burung kuntul, tentunya kegiatan bertani dan melihat pertunjukan seni desa menjadi sajian utama dari desa wisata ketingan ini.
4. Desa  Wisata Kebun Agung
Desa wisata kebun agung juga disebut sebagai desa wisata tani, didesa ini anda akan diberi pendidikan lebih jauh untuk bertani dan kehidupan desa yang damai dan menyenangkan. Banyak kegiatan yang bisa anda lakukan disini, mulai dari menanam padi, membajak sawah, dan memanen padi, tentunya ini sangat menyenangkan bagi sekeluarga, anak- anak dan bagi anda yang baru melihat indahanya desa dan baru datang dari kota.  Selain itu anda bisa menikmati wisata lain yang berada didesa kebun agung, mulai dari  bendungan tegal , bendungan yang mempunyai keindahan disepanjang aliran sungainya, dan bendungan ini biasanya digunakan sebagai perlombaan kapal naga, selain itu kegiatan memancing dan memutari bendungan dengan kapal juga menajdi hal menarik yang bisa anda dapatkan di bendungan tegal  ini. didesa wisata kebun agung ini anda juga bisa menemukan museum tani, yang didalamnya anda akan menadapatkan pendidikan dan pelajaran dari berbagai alat- alat pertanian  tradisional yang mungkin belum anda lihat dan belum pernah anda dengar, mulai dari ani- ani, jodang, luku, ganco, tlenyem, garu, singkal, kejen dan gosok, selain alat- alat pertanian tersebut anda juga bisa menemukan berbagai macam peralatan dapur tradisional, mulai dari tungku, kendil, shotil dan berbagai macam alat dapur tradisional lainnya. Tentunya semua itu akan menjadi hal yang menyenangkan bagi keluarga dan teman- teman anda.
5. Desa Wisata Srowolan
Didesa wisata srowolan  ini anda bersama bersama keluarga akan diajak melakukan berbagai macam aktivitas pedesaan dan menikmati fasilitas tantangan dengan suasan pedesaan, yang dilengkapi dengan suasana persawahan yang elok, suara gemricik air sungai, dan berbagai macam kicauan burung yang menenagkan pikiran, meninggalkan kepenatan kota.  Menikmati liburan bersama keluarga disini sungguh menyenagkan anda bisa menikmati fasilitas keluarga seperti, kolam air, kolam lumpur, kebun salak, pemancingan , sarana outbond, area makan keluarga dengan kuliner tradisional, pertunjukan kesenian tradisional, rumah tinggal sementara, serta wisata alam yang bisa mempererat keharmonisan keluarga anda. Sedangkan fasilitas yang bisa didapatkan untuk siswa SD, SMP serta SMA yang sedang mengadakan wisata alam pendidikan, disini bisa mendapatkan fasilitas seperti camping, wisata alam, sarana outward bound serta disediakan wisata kuliner tradisional yang tentunya semua itu akan menjadikan pendidikan secara langsung  yang banyak manfaatnya bagi anak- anak.

Sumber : http://yogyakarta.panduanwisata.com/wisata-alam-2/5-desa-wisata-di-yogyakarta-yang-menarik-untuk-anda-kunjungi-lengkap-dengan-pesona-alam-dan-kegiatan-yang-menyenangkan/

Nilai Kearifan Wayang Kulit


Lewat pertunjukkan wayang melalui tokoh serta ceritanya mempunyai peran dalam pembinaan dan pendidikan untuk membangun karakter bangsa.Karena wayang menjadi salah satu kekayaan tradisi bangsa Indonesia,sudah seharusnya dilestarikan dan dimanfaatkan dalam pembentukan budaya bangsa yang akan jadi potret orang Indonesia sampai kapanpun.

Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam pewayangan selalu mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menhindari kejahatan,serta menanamkan kepada masyarakat semangat "amar ma'ruf nahi mungkar" atau istilah dalam pewayangan "memayu hayuning bebrayan agung",sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam buku ini yang patut diteladani antara lain: peran tokoh Sri Rama dan Arjuna yang memilki sifat selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan,dalam penampilanya rapi,penuh dengan senyum,tutur bahasanya halus,tingkah lakunya terukur dan tampak tidak berminat membuat orang susah terhadap siapapun.
Peran kepemimpinan tokoh Abiasa yang juga patut diteladani,karena paada waktu ia menjadi penguasa di negeri Astina selalu mencintai dan memberi perhatian kepada rakyatnya,memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten,memiliki visioner dan integritas yang tinggi,sehingga ia dicintai dan dipercaya oleh pengikutnya.
Dalam menjalankan kepemimpinan hendaknya berlandaskan pada kepemimpinan "Hasta Brata" yang terdapat 8 (delapan) laku nilai-nilai watak kepemimpinan yang meniru sifat-sifat keutamaan alam semesta,yaitu:
1. Bumi yaitu seorang pemimpin harus setia memberi kebutuhan-kebutuhan hidup kepada siapa saja,sabar(bumi sebagai sumber kehidupan).
2. Air yaitu pemimpin harus selalu turun ke bawah(rakyat) untuk melihat dan memberi kesejukan serta tidak menempatkan diri lebih tinggi dan lebih rendah daripada siapapun,karena air bertabiat rata.

3. Angin yaitu pemimpin harus sanggup menghembus siapa saja tanpa pandang bulu dan tanpa pilih kasih.
4. Bulan yaitu pemimpin harus dapat menerangi siapapun yang sedang kegelapan sehingga dapat memberikan kesejahteraan,keindahan dan harapan.
5. Matahari yaitu pemimpin harus memberi petunjuk sebagai sumber kekuatan yang menghidupkan.
6. Samudra yaitu pemimpin harus memberi kasih sayang dan kebebasan tak terbatas,karena samudra luas dan tak bertepi.
7. Gunung yaitu pemimpin harus kukuh dan kuat untuk melindungi rakyatnya.
8. Api yaitu pemimpin harus mampu membakar dan memberi kehangatan(mampu memberantas kejahatan dan memberi kenikmatan).


Dengan harapan muatan tulisan diatas,dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya kearifan nilai-nilai budaya lokal dalam membangun sosok watak bangsa yang memiliki budaya unggul,baik keunggulan bidang spiritulitas,intelektualitas,disiplin dan ethos kerja,yang selanjutnya diharapkan dapat mendorong terwujudnya cita-cita reformasi untuk memenuhi harapan kita semua.

Tradisi Pasoma ,asli Sumba

Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola”, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.


Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Gaura, dan Wonokaka. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.

Proses Upacara


Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.


Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil.


Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka. Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal.


Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan. Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan. Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan. Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini.


Pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.


(Sumber : Diolah dari berbagai sumber)

Senin, 02 April 2012

Pasar Apung Yang Mempesona

Indonesia merupakan negeri yang sangat kaya. Tidak hanya kaya akan hasil bumi tetapi Indonesia juga kaya akan pesona alam yang luar biasa. Memanfaatkan anugerah Allah SWT tersebut pemerintah menggerakkan sektor pariwisata dengan memprogramkan “Visit Indonesia Year”. Agenda ini terus dilaksanakan setiap tahun di seluruh Indonesia demi memperkenalkan pesona alam Indonesia kepada dunia di samping untuk menambah devisa negara.

Kalimantan Selatan pun memiliki pesona alam yang tidak kalah luar biasa. Banjarmasin yang mendapatkan julukan sebagai “Kota Seribu Sungai” merupakan salah satu aset pariwisata bagi Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai salah satu bentuk dukungan atas program pemerintah terutama pemerintah daerah dalam “Visit Kalimantan Selatan 2011” kami dari Kelompok Studi Ekonomi Islam - Forum Studi Qur'an(KSEI-FSQ) Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat menyelenggarakan kegiatan Wisata Budaya dengan tema “Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup untuk Masa Depan Lebih Baik” yang merupakan rangkaian kegiatan dari Temu Ilmiah Nasional X 2011 dalam upaya memperkenalkan pesona alam dan budaya Banjarmasin.

Namun bukan hanya itu saja, dalam kesempatan ini dengan menggunakan alat transportasi tradisional sebenarnya para peserta TEMILNAS X FoSSEI 2011 akan dibawa untuk berkontemplasi dengan keadaan masyarakat dan alam yang mayoritas masih tergolong miskin, jauh dari kesejahteraan dan lingkungan yang rentan akan kerusakan.

Deskripsi Kegiatan : Dengan mengambil slogan “Visit Kalimantan Selatan 2011”, maka pada agenda ini peserta mengadakan wisata budaya Kalimantan Selatan mulai dari pasar terapung sambil meyusuri eksotisme aliran Sungai Martapura hingga ke Museum WASAKA Banjarmasin.

Tema: “Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup untuk Masa Depan Lebih Baik”

Sasaran Peserta: Seluruh mahasiswa delegasi dari setiap kampus.

Hari dan Tanggal Pelaksanaan: Minggu, 13 Maret 2011

Waktu: 05.00-08.30 WITA

Tempat: Wisata budaya Pasar Terapung, Pulau Kembang, Bantaran Sungai Barito, Museum Wasaka.

Selasa, 01 November 2011

Suku Komodo, Sunyi di Tengah Ingar-Bingar

Secara fisik, masyarakat Suku Komodo memang berkulit lebih cerah ketimbang masyarakat Flores yang berkulit lebih gelap. Bahasa yang mereka gunakan pun berbeda, baik secara logat hingga perbendaharaan kata. Padahal, secara teritorial, mereka berada dalam satu daerah administrasi yang sama.

Di Desa Komodo, masyarakat Suku Komodo merupakan mayoritas, sedang sisanya adalah peranakan Bugis atau Bima. Penduduk di sini rata-rata berprofesi sebagai nelayan. Sebagian kecil bekerja sebagai pembuat dan penjual suvenir khas pulau Komodo. Ada pula beberapa anak muda yang bekerja di restoran di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

Hal ihwal mengenai Suku Komodo yang memiliki populasi sekitar dua ribu orang memang luput dari perhatian masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun belakangan ada hajatan seperti “New 7 Wonders of Nature” yang memasukkan binatang purba komodo (varanus komodoensis) yang ada di sana sebagai nominator, nasib dan kehidupan komunitas tradisi yang mendiami kawasan tersebut jarang terbahaskan.

Asal usul nama Suku Komodo sendiri sebetulnya merujuk pada seorang perempuan. Syahdan, dalam sebuah cerita rakyat (folklore)suku Komodo, ada seorang putri dari dunia mistis yang tinggal di Pulau Komodo. Putri tersebut dipanggil dengan sebutan Putri Naga. Putri itu menikah dengan seorang manusia bernama Majo. Dari pasangan itu, lahirlah sepasang bayi kembar, lelaki dan perempuan.

Bayi lelaki yang berwujud manusia diberi nama Gerong, dan dibesarkan diantara manusia lain. Sedangkan bayi perempuan yang berbentuk komodo diberi nama Orah. Orah dilepaskan dan tumbuh besar di hutan. Tapi, kedua anak itu sama-sama tak tahu kalau mereka memiliki saudara.

Suasana pagi yang memikat.

Suatu hari, Gerong sedang berburu rusa di hutan. Ketika akan mengambil rusa buruannya, seekor kadal besar muncul dari semak-semak dan menyantap rusa hasil buruan Gerong. Gerong yang terkejut segera mengambil tombaknya dengan maksud membunuh kadal besar itu.

Tiba-tiba saja sang ibu muncul.

“Jangan membunuh binatang itu. Dia adalah Orah, saudara perempuanmu. Aku melahirkan kalian bersamaan. Anggaplah dia sebagai sesamamu, karena aku melahirkan kalian” kata sang Putri Naga.

Sejak saat itu, manusia Suku Komodo keturunan Gerong hidup rukun dengan para komodo keturunan Orah. Karena itu pula, para penjaga hutan di Taman Nasional Pulau Komodo adalah masyarakat Suku Komodo. Suku Komodo dipercaya bisa berkomunikasi dengan komodo

Saat ini, cerita rakyat mengenai asal usul Suku Komodo seperti menguap. Kisah-kisahnya seperti berada di titik nadir dalam ingatan masyarakat. Malam itu, di rumah Kasim, 45 tahun, salah seorang tetua Suku Komodo, kami, bersama Muchdar, memakan cumi bakar dan ikan bakar sembari membincangkan kebudayaan Suku Komodo.

“Sampai saat ini masih belum ada yang mendokumentasikan kebudayaan Suku Komodo” ujar Muchdar.

Menurut pria muda ini, kisah-kisah mengenai Suku Komodo sudah hampir punah. Jarang ada yang ingat dengan cerita asal usul tersebut. Untuk mengantisipasi kepunahan, ia pernah mencatat dengan tulisan tangan hampir seluruh cerita rakyat Suku Komodo. Sayangnya, catatan di buku tulis itu sudah hilang dan ia tak pernah menuliskannya lagi.

Generasi baru Suku Komodo.

Ancaman kepunahan kisah mengenai Suku Komodo juga dibenarkan oleh Kasim yang rumahnya menjadi tempat saya menginap selama berada di Pulau Komodo. Pria berkumis tebal bersuara berat yang tampak bijaksana ini mengatakan bahwa tak ada orang Indonesia yang pernah mendokumentasikan tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat Suku Komodo. Alih-alih orang Indonesia, yang melakukan pendokumentasian tersebut justru beberapa turis dari Amerika Serikat dan Jepang.

Nasib kebudayaan Suku Komodo yang dahulu bagian dari teritori Kerajaan Bima ini juga semakin terbayang ketika anak-anak kecil Suku Komodo sudah mulai jarang menggunakan bahasa ibunya. Mereka sekarang lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Belum lagi para remajanya yang bekerja di Labuan Bajo. Mereka lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk bercakap. Identitas yang berubah juga tampak dari beberapa remajanya yang menggunakan anting di telinga kiri, pakaian ala distro, celana ketat, rambut, rambut tegak di tengah, dan selera musik.

***

Untuk mencapai Pulau Komodo pada pertengahan 2010, dari Bima, Nusa Tenggara Barat, saya menumpang sebuah truk hingga ke Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah sebuah kota pelabuhan di Flores yang sekilas Nampak seperti Marrakesh, yang juga sebuah kota pelabuhan di negeri Maroko. Di sini, saya bermalam di sebuah masjid.

Memilih pergi ke Pulau Komodo dengan cara yang murah meriah memang cukup mengasyikkan. Apalagi, untuk seorang pelancong seperti saya, paket-paket wisata yang ditawarkan harganya cukup mahal. Rata-rata, pihak travel itu mematok harga Rp. 400 ribu sampai Rp. 1 juta rupiah untuk perjalanan pulang pergi Labuan Bajo – Pulau Komodo. Sementara, untuk menyeberang dengan kapal milik penduduk, saya yang masih muda dan membawa barang-barang banyak dihitung sebagai pelajar dengan tarif Rp. 20 ribu. Kalau penumpang umum, tarifnya adalah Rp. 40 ribu.

Usai fajar subuh, sendiri saya berjalan ke pelabuhan. Di sana saya mencari kopi dan teman untuk mengobrol. Saya berkenalan dengan Om Gendut, seorang penjual mainan yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Dari info yang ia berikan, saya tahu bahwa setiap hari ada sebuah kapal milik penduduk Desa Komodo yang mengantarkan penduduk Desa Komodo ke Labuan Bajo. Biasanya kapal itu sudah merapat di Labuan Bajo pada pukul 8 WIT. Setelah itu, kapal akan kembali ke Desa Komodo pada pukul 12 WIT.

Senja di Desa Komodo.

Waktu tempuh Labuan Bajo – Pulau Komodo adalah sekitar empat jam. Selama perjalanan, kegiatan yang paling mengasyikkan tentu saja mengobrol dengan penduduk Desa Komodo. Mereka ramah dan suka bercerita. Di sinilah saya bertemu dengan Kasim yang menawari saya menginap di rumahnya.

Menjelang petang, perahu yang saya tumpangi merapat ke dermaga Desa Komodo. Saya melihat, Desa Komodo hampir mirip dengan desa nelayan yang pernah saya kunjungi. Tak jauh beda dengan, katakanlah, kampung nelayan di Pulau Derawan, Kalimantan Timur, atau di Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat.

Anak-anak Desa Komodo yang tampaknya tak biasa melihat turis langsung mengerubungi saya dan minta dipotret. Saya merasa betapa lucu dan polosnya mereka. Mungkin mereka jarang melihat ada orang asing memasuki kawasan mereka. Sebab, para wisatawan yang mulai membanjiri Pulau Komodo sejak dinominasikan sebagai salah satu “New 7 Wonders of Nature” lebih banyak tinggal di resort atau menginap di kapal yang lepas sauh di tengah laut. Dan setelah menghabiskan beberapa menit untuk sesi foto, saya langsung menuju rumah Kasim.

Di rumah Kasim, saya mendapatkan satu kamar kosong dengan dua buah kasur. Rumahnya berbentuk rumah panggung bertingkat dua dengan kayu sebagai bahan utama. Lantai bawah digunakan sebagai ruang bersantai dan ruang makan. Sementara, ruang atas adalah ruang tamu dan kamar – yang saya tempati.

Suasana Desa komodo yang tenang.

Bentuk rumah Kasim memang menjadi tipikal di Pulau Komodo. Di sini, hampir semua rumahnya bertingkat dengan pola rumah panggung khas Bugis dan atap yang bersilang khas Bima. Namun demikian, bangunan rumah ini bukan sekedar bangunan. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya, yakni Sabalong Samalewa, yang artinya adalah sama tinggi sama rata. Sebagaimana model rumah-rumah panggung yang tersebar di seantero Indonesia, rumah panggung Suku Komodo berfungsi untuk menghindari kemungkinan masuknya komodo ke dalam rumah.

Di sini, parabola menjadi pemandangan yang lumrah di rumah-rumah penduduk. Sebab, tanpa teknologi itu, memang tak ada siaran televisi yang bisa tertangkap. Meski demikian, setiap hari listrik baru menyala dari generator setelah pukul 18 WIT.

Berpetualang ke Pulau Komodo menjadi pengalaman yang mengesankan buat saya. Tak hanya keindahan alam atau binatang purbanya yang menarik perhatian, tetapi juga kebudayaan dari suku yang absen dalam kebisingan tentang pulau milik mereka sendiri.

Short URL: http://www.lenteratimur.com/?p=4145

Rabu, 08 Juni 2011

Pemukiman TradisionalSuku Sasak yang masih hidup di mataram

Dusun Sadetepatnya berada di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah

Sade merupakan salah satu dusun tradisional yang masih asli. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bambu dengan atap dari daun alang-alang. Penghuninya berpencaharian sebagai petani. Jumlah mereka relatif tidak bertambah karena keluarga yang baru menikah kalau tidak mewarisi rumah orang tuanya akan membangun rumah di tempat lain. Disamping arsitektur rumah, sistim sosial dan kehidupan keseharian mereka masih sangat kental dengan tradisi masyarakat Sasak tempo dulu.

Jika di daerah lain mengenal Desa Wisata, maka di Pulau Lombok juga dapat ditemui hal serupa yakni di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB)

Dusun Sade dapat mewakili untuk disebut sebagai Desa Wisata di NTB ,layaknya Desa Wisata di daerah lain. Sebab, masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah Suku Sasak. Mereka hingga kini masih memegang teguh adat tradisi. Bahkan, rumah adat khas Sasak juga masih terlihat berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini.
Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok, NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu, Suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”.
Sedangkan kebudayaan Suku Sasak itu diantaranya terekam dalam rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat secara individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual.
Rumah adat Suku Sasak, jika diperhatikan dibangun berdasarkan nilai estetika dan kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat ritual adat dan ritual keagamaan.
Rumah adat suku Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek moyang mereka.
Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian. Rumah adat Sasak selain sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang, penunggu rumah dan sebagainya

Perubahan pengetahuan, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis dan topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisional.
Karena itu, untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku Sasak biasanya berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau tinggal didaerah setempat, maka harus membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, mereka dipersilahkan keluar dari kampung tersebut.

Pembangunan Rumah
Bahan pembuat rumah adat suku Sasak diantaranya kayu penyanggga, bambu, bedek untuk dinding, jerami dan alang-alang untuk atap, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran pengeras lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai bahan pengeras lantai.
Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu menentukan hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat.
Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijjah.
Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada Muharram dan Ramadhan. Menurut kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki dan lain-lain.
Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah. karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat kurang baik, seperti i bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, posisi tusuk sate (susur gubug).
Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq lenget).
Rumah adat Sasak pada atapnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah (pondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dinding dari bedek, hanya mempunyai satu ukuran kecil dan tidak ada jendela.
Ruangannya (rong) dibagi menjadi inak bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalam berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau empat persegi panjang. Sempare diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.

Ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Diantara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami.
Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari berbagai macam diantaranya Bale Tani, Bale Jajar, Barugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonder, Bale Beleq Bencingah dan Bale Tajuk. Nama bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing.
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani. Bale Jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya.
Barugaq/sekepat berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Barugaq biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Barugaq berfungsi tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Barugaq juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar/pacaran).
Sedangkan sekenam bentuknya sama dengan barugaq, hanya sekenam mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
Bale Bonder adalah bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki para pejabar desa, dusun/kampung. Bale bonder biasanya dibangun di tengah pemukiman atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat pesangkepan/persidangan atas, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat dan sebagainya.
Bale Beleq adalah satu sarana penting bagi sebuah kerajaan. Bale itu diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar kerajaan sehingga sering disebut juga “bencingah”.
Upacara kerajaan yang dilakukan di bale beleq adalah Pelantikan pejabat kerajaan, penobatan putra mahkota kerajaan, pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (pendita) kerajaan, tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen kerajaan dan sebagainya.
Bale Tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale Tajuk berbentuk segilima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga santana.
Bale Gunung Rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, bale balaq dibangun dengan tujuan menghindari bencana banjir. Oleh karena itu, biasanya berbentuk rumah panggung.
Selain bangunan itu, ada bangunan pendukung yakni Sambi, Alang dan Lumbung.
Sambi, tempat menyimpan hasil pertanian. Alang sama dengan lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian
, hanya alang bentuknya khas, beratapkan alang-alang dengan lengkungan 3/4 lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas.

Lumbung, tempat untuk menyimpan berbagai kebutuhan. Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang sebab lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar bangunan rumah.

Nilai-nilai
Jika diperhatikan, pembangunan rumah adat Suku Sasak sebenarnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara turun-temurun.
Atap rumah tradisional Sasak didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah.
Arah dan ukuran yang sama rumah adar Suku Sasak menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap manusia tidak akan sama. Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kareba semuanya merupakan rahmat Tuhan.
Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejwantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada pembangunan rumah adat masyarakat Sasak. (*)
www.antaramataram.com