welcome

We kindly serve you, find your identity in Indonesia

Rabu, 04 Agustus 2010

gamelan asli indonesia


Bagi masyarakat Indonesia, di Pulau Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan. Mereka—orang Jawa maupun Sunda—tahu mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan, sekali pun orang bersangkutan tak bisa memainkannya. Mereka mengenal istilah gamelan, karawitan, atau gangsa. Akan tetapi, barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa.
Sarjana berkebangsaan Belanda, Dr. J.L.A. Brandes, mengatakan bahwa jauh sebelum datang pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki keterampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889), yakni:
1. wayang,
2. gamelan,
3. ilmu irama sanjak,
4. batik,
5. pengerjaan logam,
6. sistem mata uang sendiri,
7. ilmu teknologi pelayaran,
8. astronomi,
9. pertanian sawah,
10. birokrasi pemerintahan yang teratur.
Dengan begitu, bila pendapat Brandes tak keliru, kesepuluh butir keterampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa India. Ini benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah—meski tahun yang tepat sulit diketahui karena masyarakatnya belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak gamelan pada masa prasejarah.

Gamelan merupakan produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian; dan kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, meski wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antarbangsa terjadi kontak budaya, keseniannya pun ikut bersinggungan, sehingga dapat terjadi satu bangsa menyerap bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karena itu, sejak keberadaannya, gamelan sampai sekarang telah mengalami perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.
Istilah “karawitan” yang merujuk pada kesenian gamelan, banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan dalam hal penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus, atau rumit. Konon, di lingkungan keraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian, seperti tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002: 5-6).
Dalam pengertian yang sempit, istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut ini (Supanggah, 2002: 12): menggunakan alat musik gamelan—sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog—sebagian atau semuanya; menggunakan laras (tangga nada) slendro dan/atau pelog, baik instrumental gamelan atau nongamelan maupun vokal atau campuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah mendunia. Maka itu, cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malah tidak peduli terhadap seni ini. Bangsa lain malah sangat apresiatif dan tekun mempelajari gamelan, “mengalahkan” masyarakat pribumi sebagai ahli waris karya agung nenek moyang ini.

Sumber Data tentang Gamelan
Kebudayaan Jawa dan Nusantara umumnya, mulai memasuki zaman sejarah, ditandai dengan adanya sistem tulisan. Selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi, kebudayaan Jawa mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Unsur-unsur budaya India, salah satunya, dapat dilihat pada kesenian gamelan dan seni tari, melalui transformasi budaya Hindu-Buddha.
Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan pada sumber verbal, yakni sumber tertulis berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Pun, sumber ini berupa sumber piktorial, seperti relief yang dipahatkan pada bangunan candi, baik candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 hingga ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai ke-15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur, kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh-tabehan” (dalam bahasa Jawa Baru “tabuh-tabuhan” atau “tetabuhan”, berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul).
Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusif, yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa, ada kata “gèmbèl” yang berarti alat pemukul. Dalam bahasa Bali, ada istilah “gambèlan” yang kemudian mungkin menjadi istilah gamelan. Istilah gamelan telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Pada masa Kadiri (abad ke-13 M), seorang ahli musik Judith Becker mengatakan bahwa kata gamelan berasal dari nama seorang pendeta Burma yang seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah gamelan dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan; namun ternyata tidak.

Gambaran Instrumen Gamelan pada Relief Candi
Pada beberapa bagian dinding Candi Borobudur dapat dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada Candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada Candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu, relief gong besar dijumpai di Candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di Candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras terdapat relief gambang, reyong, serta simbal. Pada Candi Sukuh (abad ke-15 M) terukir relief bendhe dan terompet.
Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk, bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985: 42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti Natya Sastra, seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan, kelompok musik di India disebut “vaditra” yang dikelompokkan menjadi lima kelas, yakni:
1. tata (instrumen musik gesek),
2. begat (instrumen musik petik),
3. sushira (instrumen musik tiup),
4. dhola (kendang),
5. ghana (instrumen musik pukul).
Pengelompokan yang lain adalah:
1. avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul;
2. ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri;
3. sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup;
4. tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya”, dibakukan dengan menggunakan pola “tala” yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).

0 komentar:

Posting Komentar