welcome

We kindly serve you, find your identity in Indonesia

Senin, 04 Maret 2013

jejak kerajaan majapahit di candi cetho


12903126641672861135Candi Cetho ini terletak di dusun Cetho Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karangayar, terletak pada 1400m di atas permukaan air laut. Dari Magetan tempat ini ditempuh dengan kendaraan pribadi selama 2 jam perjalanan, melewati jalan tembus Cemoro Sewu yang siang itu terlihat mulus dan tidak begitu ramai, maklum bukan hari libur. Awalnya saya pikir bahwa Candi ini letaknya tidak jauh dari air Terjun Grojogan Sewu Tawangmangu, ternyata perkiraan saya salah besar.
Dari Tawangmangu mobil terus melaju ke arah kota Karanganyar, menyusuri jalanan khas pegunungan yang curam dengan kelokan-kelokan tajam, terus melaju melewati Patung Semar di Karang Pandan. Tidak jauh dari tempat itu ada pertigaan, dan mobil membelok ke kanan. Membelah desa-desa di wilayah kecamatan Kemuning. Maaf saya tak sempat menghafal desa mana saja yang kami jelajahi, karena terus terang saya ngeri dengan medan yang harus kami lewati. Di salah satu gate ada petugas menghentikan, kami membayar retribusi untuk kendaraan seharga Rp 5.000,00. Begitu melewati gate itu saya baru tahu bahwa gate itu merupakan pintu masuk untuk tiga lokasi wisata yaitu Candi Sukuh, Candi Cetho dan Air Terjun Jumog.
12903127641829422237Semakin jauh, jalan semakin menanjak, mobil mulai memasuki perkebunan teh, yang siang itu terlihat sangat indah. Mobil meliuk-liuk membelah perkebunan teh, melingkari bukit-bukit hijau, kadang membelok tajam dan harus mampu melewati tanjakan-tanjakan setan yang luar biasa menantang, untung skill mengemudi teman saya bisa diandalkan. Sepanjang mata memandang hanya “hijau” yang kami temukan. Satu putaran lagi, kata teman saya, candinya ada di puncak bukit itu, begitu katanya sambil menunjuk sebuah bukit di depan sana. Oh God…Lindungilah Kami, jalannya kecil dan ada sebagian ruas yang tertimbun tanah karena longsoran dari bukit diatasnya.
1290312848830983241Dengan perjuangan, akhirnya sampai juga di sana, memasuki dusun Cetho mobil membelok ke kiri, dan salah satu gapura candi terlihat begitu menantang. Tiket masuk ke candi seharga Rp 4.000,00 per orang.
Menurut http://id.wikipedia.org, candi Cetho ini dibangun pada akhir masa Kerajaan Majapahit (sekitar abad ke 15). Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho. Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.
1290312954815929311Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut “kuntobimo”) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
12903130411080350460
12903131371975548203
Satu per satu aras saya lewati, dengan tidak melewatkan setiap detail yang ada di sana. Siang itu sepanjang perjalanan mengelilingi candi, kabut tak henti-hentinya turun, langit mendung sepanjang hari, tak ada langit biru. Semakin tinggi, semakin terasa hembusan anginnya. Brrrrrrr…dingin terasa di kulit.
1290313260392256712
129031332656427818
Kini, sampailah saya di aras ke delapan. Aras kesembilan tertutup untuk umum, pintu pagar kecil terlihat terkunci. Dan disinilah saya sekarang, memandang jauh ke bawah, menyaksikan kembali jalan-jalan yang sudah saya lewati. Saya merasa terlempar ke masa yang berbeda, memasuki negeri di atas awan. Hmmmmmmmm….sendu dan senyap. Maka tak heran jika sampai sekarang Candi ini masih digunakan untuk upacara keagamaan, khususnya agama Hindu.
Sepanjang mata memandang, banyak sekali saya temukan pahatan kasar berbentuk penyu, karena penasaran akhirnya saya bertanya ke juru kunci. Akhirnya sang Juru Kunci berkata bahwa penyu merupakan perlambang akan penyuwunan/penjalukan  yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai permintaan atau permohonan kepada Sang Maha.
sumberhttp://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan
1290313578428168619

0 komentar:

Posting Komentar