Suku Tengger adalah
sebuah suku yang tinggal di sekitar gunung Bromo, Jawa Timur, menempati
sebagian wilayah kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.
Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari kerajaan Majapahit yang
mengasingkan diri.
Seorang suku
Tengger, bapak Suyatno mengatakan bahwa, masyarakat Tengger umumnya
hidup sebagai petani ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual
tanah (ladang) pada orang lain. Hasil pertaniannya yaitu, kentang,
kubis, semen (bunga Kubis), wortel, tembakau dan jagung. Jagung
merupakan makanan pokok suku yang memeluk agama Hindu ini.
“Selain bertani,
masyarakat di sini berprofesi sebagai porter (pengangkut barang) di
gunung Semeru dan pemandu wisatawan di gunung Bromo dengan menawarkan
kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan,” imbuh
laki-laki yang berprofesi sebagai porter ini.
Suku yang berdiam
di Bromo ini sangat mudah dikenali karena selalu menggenakan sarung,
dalam istilah mereka disebut kawengan. Sarung digunakan sebagai baju
atau jaket penghangat dari serangan angin dingin yang menusuk tulang,
selain harganya murah, sarung mudah didapat dibandingkan pakaian hangat
lainnya.
Mayoritas
masyarakatnya memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut
berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang
berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama
Hindu, agama lain yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Katolik.
Berdasarkan ajaran
agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasodo.
Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo,
Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku
keturunan Joko Seger dan Roro Anteng ini.
Orang-orang suku
Tengger dikenal taat dengan aturan adat juga agama dan meyakini bahwa
mereka keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari
legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal-usul nama
Tengger.
Bagi suku Tengger,
gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali
masyarakat Tengger mengadakan upacara Kasada atau Kasodo. Upacara ini
bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki gunung Bromo utara
dan dilanjutkan ke puncak gunung tersebut.
“Prosesinya
diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar
tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan
Jawa” tutur pria yang biasa disapa pak Yatno ini.
Upacara Kasodo
diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara
Anteng-Jaka Seger di panggung terbuka desa Ngadisari. Kemudian tepat
tengah malam diadakan pelantikan dukun (sesepuh agama) dan pemberkatan
umat di lautan pasir gunung Bromo.
Dukun bagi
masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan dan
memimpin upacara-upacara ritual. Sebelum dilantik para dukun harus lulus
ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra. Mereka
percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan merupakan mantra
putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.
Setelah Upacara
selesai, ongkek – ongkek (wadah) yang berisi sesaji dibawa dari kaki
gunung Bromo menuju sisi kawah. Sesaji dilemparkan ke dalam kawah
sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Di
sisi bagian dalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk Tengger
yang tinggal di pedalaman, mereka jauh-jauh datang ke gunung Bromo
dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar.
Penduduk melempar
sesaji berbagai macam hasil bumi dan ternak, mereka menganggapnya
sebagai kaul atau terima kasih terhadap Tuhan atas hasil pertanian dan
ternak yang melimpah.
“Aktifitas ritual
yang berada dikawah gunung Bromo dapat kita lihat dari malam sampai
siang pada hari Kasodo Bromo,” Tandas pak Suyatno.
Sumber: HIMPALAUNAS.COM - MALANG
0 komentar:
Posting Komentar