Berada terpisah di laut selatan Pulau Dewata, bukan berarti kehilangan pesona. Meski berukuran kecil,
Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida memiliki magnet
turistik yang tak kalah menarik. Ombak yang memikat para peselancar,
bawah laut yang mengundang penyelam, karang terjal yang menggoda para
petualang. Siapkah Anda berlayar kesana dan melupakan Bali yang hiruk
pikuk? Alunan melodi berbahasa Portugis menyambut tibanya saya di Pantai
Sanur, tepatnya di ujung selatan Jalan Hang Tua. Saya langsung
terkenang film Eat, Pray, Love yang dimainkan Julia Roberts
karena musik yang saya dengar sekarang dipakai sebagai soundrack film
tersebut. Saya merasa berada di tempat yang pas dan di waktu yang
tepat. Kebetulan film itu bersetting di Bali, dan kebetulan pula saya
dalam kondisi siap untuk mengarungi lautan, persis seperti lirik
lagunya!
Ponsel
saya berdering. Pesan singkat dari Mathil, rekan sekantor asal
Perancis. Mathil mengabarkan bahwa ia dan tiga kawan telah tiba di
Pantai Sanur dan mereka telah pula membeli tiket kapal motor, termasuk
untukku. Langsung saja saya meneguk habis sisa kopi dalam cangkir yang
terhidang di meja lantas bergegas memanggul ransel menemui mereka.
Langit biru cerah, udara hangat bercampur sejuk angin pantai. Saatnya
mengakrabi ombak dan air asin…..
Bali sebagaimana telah dikenal orang, betul-betul surga pelesir.
Begitu banyak pilihan bersenang-senang ditawarkan oleh propinsi berjuluk
Island of Gods ini. Setiap kali menginjakkan kaki kesini, ada
saja hal baru untuk dieksplor. Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa
Penida adalah bagian dari Bali dan mereka termasuk jarang dijamah.
Wisata bahari di ketiga pulau ini memperkokoh Bali sebagai destinasi
serba ada.
Rencana menyambangi tiga nusa kecil di selatan Bali itu sebetulnya
sudah lama saya pendam. Hanya saja selalu ada halangan untuk
merealisasikannya. Beruntung saya dipertemukan dengan rekan-rekan kantor
yang punya hobby sama. Kami pun merencanakan perjalanan ke Nusa
Lembongan, Ceningan, dan Penida di akhir pekan ini.
Sanur, tepatnya di Jalan Hang Tua menjadi titik keberangkatan yang
popular menujuh ke tiga nusa. Ada dua pilihan transportasi laut, dengan
kapal motor biasa atau dengan speed boat. Untuk domestik harga
berkisar 60-100 ribu per orang sekali jalan, tergantung seberapa mahir
kita menawar. Kami memakai kapal motor biasa yang bisa ditumpangi
hampir 20 orang. Durasi berlayar sekitar 2 jam, disebabkan kondisi laut
selatan yang lumrah lebih bergelombang dan kuat arusnya. Kami memilih
tidur-tiduran di atas atap kapal, bergurau sambil melempar pandang ke
lautan luas..
SURGA DI UJUNG KUKU
Kapal merapat di pos penyeberangan Jungut Batu. Satu
per satu penumpang melompat keluar. Seturut rencana, kami akan menyewah
sepeda motor. Dengan moda roda dua ini kami akan mengelilingi pulau. Di
pos kami langsung berkenalan dengan Dodi (kontak 081337419282) pria
lokal yang empunya penyewaan sepeda motor. Awalnya Dodi mematok harga
Rp.70.000 untuk satu sepeda motor per hari, tapi akhirnya luluh juga
hatinya setelah kami tawar Rp.50.000 per hari. Jadilah tiga sepeda motor
kami sewa.
Misi selanjutnya adalah mencari penginapan. Agaknya dengan sepeda
motor urusan ini jadi lebih mudah. Saya sejujurnya kaget dengan situasi
di Nusa Lembongan. Kira-kira enam tahun silam saya pernah kesini. Waktu
itu pantai di sekitar pos penyeberangan masih semata pasir, belom
ditemboki. Rumah-rumah penduduk juga masih sangat sederhana. Dan satu
hal yang terasa hilang adalah hamparan rumput laut yang dulu memenuhi
pantai. Ya, Nusa Lembongan dulu lebih masyur sebagai pulau penghasil
rumput laut. Ah, kondisi kini cepat sekali berubah.
Penginapan di Nusa Lembongan pun tak kalah banyak bermunculan. Dari
yang level losmen hingga resort berbintang. Terutama di Jungut Batu.
Letaknya berdekatan satu sama lain, membuat kami sedikit kewalahan
memilih. Toh, akhirnya kami sepakat untuk bermalan di penginapan yang
menghadap pantai, dan terpilihlah Puri Nusa Bungallow. Kami menempati
kamar dua lantai dengan lima tempat tidur, harganya Rp.250.000 semalam,
sehingga masing-masing hanya mengeluarkan Rp.50.000 dari dompet.
Hmmm..lumayan ekonomis.
Tuntas masalah penginapan, kami langsung bergegas menujuh Manggrove Point.
Berlokasi di timur laut pulau, Mangrove Point disebut sebagai tempat
dengan terumbu karang yang cukup subur dan sangat baik untuk
bersnorkeling. Jaraknya hanya dua kilometer dari hotel. Baru sekitar 500
meter keluar dari hotel, saya mendapatkan kembali wajah asli Nusa
Lembongan yang ‘hilang,’ Rumah-rumah berdinding gedek, tanah kering,
jalanan yang berdebuh serta berbatu. Bukannya mengeluh, kami malah
bersorak-sorai melewati rute itu.
Paradise Warung adalah restoran yang berada paling ujung di Mangrove
Point sekaligus titik paling tepat untuk bersnorkeling. Kami disambut
sang pemilik restoran, Ibu Made (081338380419). Berhubung laut sedang
pasang surut, kami memutuskan untuk bersantap siang terlebih dahulu.
Selain menu-menu biasa, Indonesia-Western, Ibu Made punya satu sajian
spesial yang ia namakan Chicken Lembongan, yakni daging ayam
bumbu santan dibungkus daun pisang. Menyantapnya paling pas saat masih
hangat, ditetesi perasan jeruk, mmm…nikmat nian!
Ibu Made meminjamkan peralatan snorkeling gratis (fins, masks,
snorkels) sebagai kompensasi bagi siapapun yang bersantap di
restorannya. Dengan peralatan itu, kami bersukacita menceburkan diri ke
laut.
Ternyata terumbu karang di Mangrove Point bersebaran tepat di bibir
pantai. Begitu membenamkan kepala ke dalam laut, saya serasa menemukan
surga di ujung kuku. Kepadatan koralnya baik ditambah populasi ikan yang
cukup melimpah. Nyaris empat jam kami bersnorkeling. Agak ke tengah,
kami menemukan bebatuan besar yang menjadi rumah ratusan ikan, juga
celah-celah sempit yang misterius. Sayang sekali, saya tidak memiliki underwater camera, keidahan bahwa laut itupun hanya terekam dalam ingatan.
Begitu merasa tenaga sudah agak terkuras, kami sepakat kembali ke
darat. Saat ngos-ngosan berenang, tiba-tiba meluncurlah seorang nelayan
di atas sampannya menghadang kami, lalu dengan senyul simpul bertanya, “do you want transport?” Duh, bapak ini!!
ADUH NYALI DI NUSA CENINGAN
Setelah beristirahat sejenak di restoran Warung Pelangi, kami
menderukan lagi sepeda motor. Niat kami adalah menujuh Nusa Ceningan.
Dalam bahasa Bali, Nusa Ceningan berarti pulau kecil, mengikuti ukuran
pulau yang memang tak seberapa besar.
Hanya tiga puluh menit ke arah selatan, kami melewati jembatan sempit
yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor. Jembatan ini berwarna
kuning, dan tampak indah oleh bentuknya yang jangkung. Permukaan
jembatan hanya dilapisi bilah-bilah kayu, serasa amat menyatu dengan
alam, membela selat Toyoh Pake yang memisahkan Nusa Lembongan dan Nusa
Ceningan
Kami lantas memilih berbelok ke barat, ke sebuah lokasi yang dinamakan ‘Jumping Point.’
Dari namanya sudah jelas menggambarkan seperti apa tempatnya nanti.
Tepian ketiga pulau ini memang didominasi oleh tebing curam, mirip
kawasan Uluwatu. Kami sampai di Swallow Houses dimana terdapat
rumah-rumah yang dibangun di bibir tebing. Kemudian melangkah ke Jumping
Point tersebut. Disini kerapkali orang-orang -baik lokal maupun
wisatawan asing- datang untuk menguji nyali, melompat dari atas tebing
ke bawah laut biru yang ombaknya dari jauh sudah bikin ngeri.
Satu-satunya cara untuk kembali ke atas adalah memanjat tebing.
Puas di Jumping Point, kami bergegas kembali ke Nusa Lembongan untuk sebuah pengalaman lain yang tak kalah seruhnya!
SENSASI SENJA DEVIL’S TEAR
Hampir semua bagian barat dari Nusa Ceningan maupun Nusa Lembongan
menjanjikan pemandangan matahari tenggelam yang luar biasa. Namun ada
satu lokasi yang paling saya rekomendasikan yakni di Devil’s Tear.
Menggapainya dari Nusa Ceningan, kembali kami menyeberangi jembatan
kuning lantas berbelok ke kiri. Yang perluh diperhatikan adalah
menghitung timing dengan seksama, agar datang ke lokasi sunset
di waktu yang tepat. Terlebih jika sudah mendekati jam 5 sore, Anda
sebaiknya sudah harus di Devil’s Tear.
Untuk menemukan lokasi ini tidaklah sulit walau ia tersembunyi. Cukup ingat nama Dream Beach. Nah,
nanti Anda akan menjumpai sebuah hotel bernama Dream Beach Kubu. Ikuti
jalan setapak di sebelah kiri hotel maka Anda akan mencapainya. Meski
tidaklah luas, tapi Dream Beach lumayan bagus oleh pasir putihnya. Jika
datang lebih awal, Anda bisa menjadi berleha-leha sejenak disana sebelum
ke Devil’s Tear yang langsung bersisian letaknya.
Entah siapa yang memberi nama, namun Devil’s Tear memang tempat yang
sungguh menakjubkan. Barangkali nama itu muncul dari fenomena alam,
dimana kebuasan ombak yang menghantam dinding karang berpadu dengan
senja hari yang memerah. Lubang besar yang menganga di bawah karang
mencipratkan air dengan dasyatnya saat terhantam gelombang laut. Bunyi
dentuman dan desis air serta udara bagaikan seringai makluk yang
mengamuk.
Kami menghabiskan waktu lumayan lama di Devil’s Tear hingga bintang
bermunculan di langit. Tempat yang begitu sepi tersebut menyiratkan aura
misteri. Suatu saat nanti, saya ingin datang lagi kemari.
KETENTRAMAN SUASANA PAGI
Keesokannya, saya bangun subuh dan menderuhkan sepeda motor ke Mushroom Bay. Di
tempat yang berbukit ini terdapat sejumlah resort serta villa
berbintang. Tetapi niat saya bukan untuk melihat-lihat akomodasi disana
melainkan ingin menikmati semburat mentari pagi, sunrise. Nasib
baik tak berpihak, harapan saya untuk melihat matahari muncul di dekat
Gunung Agung tak kesampaian karena ternyata titik terbit bergeser ke
kanan. Pemandangan sebagian Pulau Lembongan dari ketinggian terselimuti
kabut pagi agak mengobati kekecewaan saya.
Saya juga sebenarnya berniat mendatangi Goa Gala
pagi itu, sialnya saya kebingungan mencari lokasi dimana goa berada. Goa
Gala adalah gua buatan yang terdapat di bawah tanah dalam batu kapur.
Konon, Goa Gala menjadi tempat tinggal seorang pertapa. Sang pertapa
menggali gua ini dan membentuknya seolah sebuah rumah selama belasan
tahun, hanya dengan peralatan seadanya. Katanya pula disitu terdapat
ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, sumur dan dapur. Saya juga
penasaran ingin melihat relief yang terukir pada dinding gua dimaksud.
Ada yang menarik saya temukan. Penduduk pulau kecil ini rupanya gemar ber-jogging pagi-pagi. Pria maupun maupun wanita di semua usia berlari pelan naik turun turun bukit. Wah, warga yang sadar olahraga nih..
Kembali ke hotel, saya tidak langsung ke kamar tapi menyusuri pantai.
Penduduk setempat yang kebanyakan nelayan telah beraktifitas. Ada yang
membersihkan jala dan kapal, ada yang bertrasaksi jual beli ikan segar,
ada yang mengangkut rumput laut. Sekelompok bocah saya lihat sibuk
mencari cacing laut. Mereka memakai cara yang unik, cacing dipancing
keluar hanya dengan menyiramkan air tawar ke atas pasir.
Wisatawan asing pun tak ketinggalan. Pagi-pagi sudah membawa papan
luncurnya ke laut. Ya, ombak di sekitar Nusa Lembongan maupun Nusa
Ceningan sudah terkenal bagi penyuka surfing dan katanya pagi hari
merupakan saat paling tepat bermain dengan gulungan ombak. Karena
keadaan belum begitu ramai, suasana tentram terasa sekali. Cahaya
matahari hangat menyentuh kulit tapi belum menyengat, pemandangan
Gunung Agung di seberang pun menambah kecantikan pagi.
BERBURUH PARI MANTA
Kegiatan kami selanjutnya adalah berburuh Pari Manta. Demi bersua
mereka, hari ini kami akan berlayar ke Nusa Penida. Doni, penyewa sepeda
motor, telah menyanggupi untuk mencarikan kapal. Ia mengantar kami ke
jalur menujuh Mangrove Point, disana kami ditunggui oleh Pak Kadek,
orang yang nantinya membawa kami dengan boat ke Nusa Penida.
Awalnya boat kami melesat dengan mulus. Begitu masuk ke dalam selat
antara Nusa Penida dengan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, permukaan
laut bak daun kelapa yang tertiup angin, bergelombang naik turun dengan
cepat. Boat pun ikut terombang ambing. Anggieta, temanku, berkomentar
bahwa kami seolah berada di atas roller coaster.
Boat mendekati Manta Point dan gelombang laut kian
keras. Samar-samar mata saya menangkap titik-titik hitam di lautan. Wah,
itukah ikannya? Namun nyali kami kendur berada di tengah gelombang yang
keras itu. Tak ada yang mau melompat ke laut dalam keadaan demikian.
Pak Kadek sendiripun mengaku tak berani berlama-lama. Apa mau dikata,
terpaksa kami memutar haluan. Perburuan Manta itu memang tak sepenuhnya
gagal. Hanya kondisi alam susah ditebak.
Melihat dengan jelas rupa Pari Manta di perairan Nusa Penida
sebetulnya sudah pernah saya alami. Bedanya dulu saya melihat dari atas
tebing. Seingatku jumlahnya terbilang banyak. Ikan bernama ilmiah Manta birostris tersebut
menghuni di sebagian besar perairan tropis, lautan Indonesia termasuk
salah satu area dengan jumlah Pari Manta terbanyak. Pari Manta merupakan
jenis pari terbesar. Hewan pemakan plankton ini bersifat sama seperti
Lumba-lumba, ramah terhadap manusia.
Mengobati kecewa, Pak Kadek membawa kami ke Crystal Bay.
Tak sia-sia, Crystal Bay yang termasuk salah satu titik penyelaman Nusa
Penida menyajikan keindahan yang asri dan asli. Sebuah pulau karang
berlubang menghiasi teluk berpasir putih itu. Di musim-musim tertentu
ikan Mola-Mola bertandang kesini. Ikan Mola-Mola tergolong ikan langkah
dan bertubuh raksasa. Keunikan ikan ini terletak pada ujung tubuhnya
yang nyaris seperti tanpa ekor.
Terdapat sebuah pura di pulau karang depan Crystal Bay, dengan anak
tangga yang terputus. Kami tak hanya bersnorkeling tapi juga berenang ke
daratan Nusa Penida. Saya menyukai lebatnya pohon-pohon kelapa disana.
Ada sumur yang airnya tawar meski hanya 50 meter dari jaraknya dari
laut. Kami berkenalan dengan seorang pria tua pemilik tanah, beliau
berpesan bahwa kami boleh datang dan berkemah di pekarangannya tanpa
harus bayar. Sebentuk keramahan yang menyenangkan hati.
Puas di Crystal Bay, kami berlayar lagi ke Gamat Bay. Tempat
ini pun punya kehidupan bawah laut yang memanjakan mata. Saya
sampai-sampai hanya berkutat di satu kumpulan koral lantaran struktur
koralnya amat bagus ditunjang ikan beraneka warna.
Tengah hari, kami kembali ke Nusa Lembongan. Makan siang di restoran
pinggir pantai. Saking lelahnya, habis makan semua kami terbaring
nyenyak di atas pasir. Angin yang bertiup lembut membantu kami semakin
lama dalam mimpi. Hingga akhirnya waktu menunjukkan angkah 15.30 sore,
kami bergegas ke hotel, berkemas, lalu menujuh Pos Batu Jungut untuk
menumpang boat pulang. Kali ini kami memilih speed boat. Sungguh akhir pekan yang menyenangkan di Tiga Nusa.
SEKILAS NUSA PENIDA, LEMBONGAN & CENINGAN
Walau paling sering di akses dari Sanur ataupun Benoa, namun secara
administraf ketiga pulau ini masuk dalam wilayah Kabupaten Klungkung.
Nusa Lembongan memiliki fasilitas pariwisata terlengkap dibanding Nusa
Penida atau Ceningan. Tak tersedia sarana angkutan umum seperti bus,
transportasi lebih memanfaatkan kendaraan roda dua.
Di Nusa Penida terdapat Bali Bird Santuary atau pusat pelestarian burung, terkhusus burung endemik, Jalak Bali (Leucopsar rothschild).
Usaha pelestarian ini tercatat lumayan berhasil. Jika Anda tertarik
untuk mengenalnya lebih jauh, tak ada salahnya menyempatkan untuk
mengunjungi tempat yang sangat alamiah itu. Selain itu Nusa Penida juga
terkenal dengan penerapan Bio Energi, yakni pemanfaatan kotoran hewan
sebagai penghasil energy listrik.
http://www.travelxpose.com/index.php?option=com_content&view=article&id=333%3Atiga-nusa-yang-mendebarkan&catid=45%3Aexplore-domestik&Itemid=84&lang=en
Senin, 04 Maret 2013
pesona 3 Pulau Nusa yang memiliki magnet nusa Lembongan, Nusa penida dan Ceningan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar