Candi
Cetho ini terletak di dusun Cetho Desa Gumeng Kecamatan Jenawi
Kabupaten Karangayar, terletak pada 1400m di atas permukaan air laut.
Dari Magetan tempat ini ditempuh dengan kendaraan pribadi selama 2 jam
perjalanan, melewati jalan tembus Cemoro Sewu yang siang itu terlihat
mulus dan tidak begitu ramai, maklum bukan hari libur. Awalnya saya
pikir bahwa Candi ini letaknya tidak jauh dari air Terjun Grojogan Sewu
Tawangmangu, ternyata perkiraan saya salah besar.
Dari Tawangmangu mobil terus melaju ke
arah kota Karanganyar, menyusuri jalanan khas pegunungan yang curam
dengan kelokan-kelokan tajam, terus melaju melewati Patung Semar di
Karang Pandan. Tidak jauh dari tempat itu ada pertigaan, dan mobil
membelok ke kanan. Membelah desa-desa di wilayah kecamatan Kemuning.
Maaf saya tak sempat menghafal desa mana saja yang kami jelajahi, karena
terus terang saya ngeri dengan medan yang harus kami lewati. Di salah
satu gate ada petugas menghentikan, kami membayar retribusi untuk
kendaraan seharga Rp 5.000,00. Begitu melewati gate itu saya baru tahu
bahwa gate itu merupakan pintu masuk untuk tiga lokasi wisata yaitu
Candi Sukuh, Candi Cetho dan Air Terjun Jumog.
Semakin
jauh, jalan semakin menanjak, mobil mulai memasuki perkebunan teh, yang
siang itu terlihat sangat indah. Mobil meliuk-liuk membelah perkebunan
teh, melingkari bukit-bukit hijau, kadang membelok tajam dan harus mampu
melewati tanjakan-tanjakan setan yang luar biasa menantang, untung
skill mengemudi teman saya bisa diandalkan. Sepanjang mata memandang
hanya “hijau” yang kami temukan. Satu putaran lagi, kata teman saya,
candinya ada di puncak bukit itu, begitu katanya sambil menunjuk sebuah
bukit di depan sana. Oh God…Lindungilah Kami, jalannya kecil dan ada
sebagian ruas yang tertimbun tanah karena longsoran dari bukit
diatasnya.
Dengan perjuangan, akhirnya sampai juga di sana, memasuki dusun Cetho mobil membelok ke kiri, dan salah satu gapura candi terlihat begitu menantang. Tiket masuk ke candi seharga Rp 4.000,00 per orang.
Menurut http://id.wikipedia.org, candi Cetho ini dibangun pada akhir
masa Kerajaan Majapahit (sekitar abad ke 15). Pada keadaannya yang
sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum
gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang
arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi.
Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng
Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho. Pada aras ketiga terdapat
sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan
kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit),
dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter
dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.
Dengan perjuangan, akhirnya sampai juga di sana, memasuki dusun Cetho mobil membelok ke kiri, dan salah satu gapura candi terlihat begitu menantang. Tiket masuk ke candi seharga Rp 4.000,00 per orang.
Pada
aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran
bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang
terdapat pula di Candi Sukuh. Dua aras berikutnya memuat
bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat
ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan
upacara-upacara keagamaan. Pada aras kedelapan terdapat arca phallus
(disebut “kuntobimo”) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V
dalam wujud mahadewa. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi
sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk
kubus.
Satu per satu aras saya lewati, dengan
tidak melewatkan setiap detail yang ada di sana. Siang itu sepanjang
perjalanan mengelilingi candi, kabut tak henti-hentinya turun, langit
mendung sepanjang hari, tak ada langit biru. Semakin tinggi, semakin
terasa hembusan anginnya. Brrrrrrr…dingin terasa di kulit.
Kini, sampailah saya di aras ke delapan.
Aras kesembilan tertutup untuk umum, pintu pagar kecil terlihat
terkunci. Dan disinilah saya sekarang, memandang jauh ke bawah,
menyaksikan kembali jalan-jalan yang sudah saya lewati. Saya merasa
terlempar ke masa yang berbeda, memasuki negeri di atas awan.
Hmmmmmmmm….sendu dan senyap. Maka tak heran jika sampai sekarang Candi
ini masih digunakan untuk upacara keagamaan, khususnya agama Hindu.
Sepanjang mata memandang, banyak sekali
saya temukan pahatan kasar berbentuk penyu, karena penasaran akhirnya
saya bertanya ke juru kunci. Akhirnya sang Juru Kunci berkata bahwa
penyu merupakan perlambang akan penyuwunan/penjalukan yang dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai permintaan atau permohonan kepada Sang
Maha.
sumberhttp://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan
0 komentar:
Posting Komentar