Secara fisik, masyarakat Suku Komodo memang berkulit lebih cerah ketimbang masyarakat Flores yang berkulit lebih gelap. Bahasa yang mereka gunakan pun berbeda, baik secara logat hingga perbendaharaan kata. Padahal, secara teritorial, mereka berada dalam satu daerah administrasi yang sama.
Di Desa Komodo, masyarakat Suku Komodo merupakan mayoritas, sedang sisanya adalah peranakan Bugis atau Bima. Penduduk di sini rata-rata berprofesi sebagai nelayan. Sebagian kecil bekerja sebagai pembuat dan penjual suvenir khas pulau Komodo. Ada pula beberapa anak muda yang bekerja di restoran di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Hal ihwal mengenai Suku Komodo yang memiliki populasi sekitar dua ribu orang memang luput dari perhatian masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun belakangan ada hajatan seperti “New 7 Wonders of Nature” yang memasukkan binatang purba komodo (varanus komodoensis) yang ada di sana sebagai nominator, nasib dan kehidupan komunitas tradisi yang mendiami kawasan tersebut jarang terbahaskan.
Asal usul nama Suku Komodo sendiri sebetulnya merujuk pada seorang perempuan. Syahdan, dalam sebuah cerita rakyat (folklore)suku Komodo, ada seorang putri dari dunia mistis yang tinggal di Pulau Komodo. Putri tersebut dipanggil dengan sebutan Putri Naga. Putri itu menikah dengan seorang manusia bernama Majo. Dari pasangan itu, lahirlah sepasang bayi kembar, lelaki dan perempuan.
Bayi lelaki yang berwujud manusia diberi nama Gerong, dan dibesarkan diantara manusia lain. Sedangkan bayi perempuan yang berbentuk komodo diberi nama Orah. Orah dilepaskan dan tumbuh besar di hutan. Tapi, kedua anak itu sama-sama tak tahu kalau mereka memiliki saudara.
Suasana pagi yang memikat.
Suatu hari, Gerong sedang berburu rusa di hutan. Ketika akan mengambil rusa buruannya, seekor kadal besar muncul dari semak-semak dan menyantap rusa hasil buruan Gerong. Gerong yang terkejut segera mengambil tombaknya dengan maksud membunuh kadal besar itu.
Tiba-tiba saja sang ibu muncul.
“Jangan membunuh binatang itu. Dia adalah Orah, saudara perempuanmu. Aku melahirkan kalian bersamaan. Anggaplah dia sebagai sesamamu, karena aku melahirkan kalian” kata sang Putri Naga.
Sejak saat itu, manusia Suku Komodo keturunan Gerong hidup rukun dengan para komodo keturunan Orah. Karena itu pula, para penjaga hutan di Taman Nasional Pulau Komodo adalah masyarakat Suku Komodo. Suku Komodo dipercaya bisa berkomunikasi dengan komodo
Saat ini, cerita rakyat mengenai asal usul Suku Komodo seperti menguap. Kisah-kisahnya seperti berada di titik nadir dalam ingatan masyarakat. Malam itu, di rumah Kasim, 45 tahun, salah seorang tetua Suku Komodo, kami, bersama Muchdar, memakan cumi bakar dan ikan bakar sembari membincangkan kebudayaan Suku Komodo.
“Sampai saat ini masih belum ada yang mendokumentasikan kebudayaan Suku Komodo” ujar Muchdar.
Menurut pria muda ini, kisah-kisah mengenai Suku Komodo sudah hampir punah. Jarang ada yang ingat dengan cerita asal usul tersebut. Untuk mengantisipasi kepunahan, ia pernah mencatat dengan tulisan tangan hampir seluruh cerita rakyat Suku Komodo. Sayangnya, catatan di buku tulis itu sudah hilang dan ia tak pernah menuliskannya lagi.
Generasi baru Suku Komodo.
Ancaman kepunahan kisah mengenai Suku Komodo juga dibenarkan oleh Kasim yang rumahnya menjadi tempat saya menginap selama berada di Pulau Komodo. Pria berkumis tebal bersuara berat yang tampak bijaksana ini mengatakan bahwa tak ada orang Indonesia yang pernah mendokumentasikan tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat Suku Komodo. Alih-alih orang Indonesia, yang melakukan pendokumentasian tersebut justru beberapa turis dari Amerika Serikat dan Jepang.
Nasib kebudayaan Suku Komodo yang dahulu bagian dari teritori Kerajaan Bima ini juga semakin terbayang ketika anak-anak kecil Suku Komodo sudah mulai jarang menggunakan bahasa ibunya. Mereka sekarang lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Belum lagi para remajanya yang bekerja di Labuan Bajo. Mereka lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk bercakap. Identitas yang berubah juga tampak dari beberapa remajanya yang menggunakan anting di telinga kiri, pakaian ala distro, celana ketat, rambut, rambut tegak di tengah, dan selera musik.
***
Untuk mencapai Pulau Komodo pada pertengahan 2010, dari Bima, Nusa Tenggara Barat, saya menumpang sebuah truk hingga ke Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah sebuah kota pelabuhan di Flores yang sekilas Nampak seperti Marrakesh, yang juga sebuah kota pelabuhan di negeri Maroko. Di sini, saya bermalam di sebuah masjid.
Memilih pergi ke Pulau Komodo dengan cara yang murah meriah memang cukup mengasyikkan. Apalagi, untuk seorang pelancong seperti saya, paket-paket wisata yang ditawarkan harganya cukup mahal. Rata-rata, pihak travel itu mematok harga Rp. 400 ribu sampai Rp. 1 juta rupiah untuk perjalanan pulang pergi Labuan Bajo – Pulau Komodo. Sementara, untuk menyeberang dengan kapal milik penduduk, saya yang masih muda dan membawa barang-barang banyak dihitung sebagai pelajar dengan tarif Rp. 20 ribu. Kalau penumpang umum, tarifnya adalah Rp. 40 ribu.
Usai fajar subuh, sendiri saya berjalan ke pelabuhan. Di sana saya mencari kopi dan teman untuk mengobrol. Saya berkenalan dengan Om Gendut, seorang penjual mainan yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Dari info yang ia berikan, saya tahu bahwa setiap hari ada sebuah kapal milik penduduk Desa Komodo yang mengantarkan penduduk Desa Komodo ke Labuan Bajo. Biasanya kapal itu sudah merapat di Labuan Bajo pada pukul 8 WIT. Setelah itu, kapal akan kembali ke Desa Komodo pada pukul 12 WIT.
Senja di Desa Komodo.
Waktu tempuh Labuan Bajo – Pulau Komodo adalah sekitar empat jam. Selama perjalanan, kegiatan yang paling mengasyikkan tentu saja mengobrol dengan penduduk Desa Komodo. Mereka ramah dan suka bercerita. Di sinilah saya bertemu dengan Kasim yang menawari saya menginap di rumahnya.
Menjelang petang, perahu yang saya tumpangi merapat ke dermaga Desa Komodo. Saya melihat, Desa Komodo hampir mirip dengan desa nelayan yang pernah saya kunjungi. Tak jauh beda dengan, katakanlah, kampung nelayan di Pulau Derawan, Kalimantan Timur, atau di Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat.
Anak-anak Desa Komodo yang tampaknya tak biasa melihat turis langsung mengerubungi saya dan minta dipotret. Saya merasa betapa lucu dan polosnya mereka. Mungkin mereka jarang melihat ada orang asing memasuki kawasan mereka. Sebab, para wisatawan yang mulai membanjiri Pulau Komodo sejak dinominasikan sebagai salah satu “New 7 Wonders of Nature” lebih banyak tinggal di resort atau menginap di kapal yang lepas sauh di tengah laut. Dan setelah menghabiskan beberapa menit untuk sesi foto, saya langsung menuju rumah Kasim.
Di rumah Kasim, saya mendapatkan satu kamar kosong dengan dua buah kasur. Rumahnya berbentuk rumah panggung bertingkat dua dengan kayu sebagai bahan utama. Lantai bawah digunakan sebagai ruang bersantai dan ruang makan. Sementara, ruang atas adalah ruang tamu dan kamar – yang saya tempati.
Suasana Desa komodo yang tenang.
Bentuk rumah Kasim memang menjadi tipikal di Pulau Komodo. Di sini, hampir semua rumahnya bertingkat dengan pola rumah panggung khas Bugis dan atap yang bersilang khas Bima. Namun demikian, bangunan rumah ini bukan sekedar bangunan. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya, yakni Sabalong Samalewa, yang artinya adalah sama tinggi sama rata. Sebagaimana model rumah-rumah panggung yang tersebar di seantero Indonesia, rumah panggung Suku Komodo berfungsi untuk menghindari kemungkinan masuknya komodo ke dalam rumah.
Di sini, parabola menjadi pemandangan yang lumrah di rumah-rumah penduduk. Sebab, tanpa teknologi itu, memang tak ada siaran televisi yang bisa tertangkap. Meski demikian, setiap hari listrik baru menyala dari generator setelah pukul 18 WIT.
Berpetualang ke Pulau Komodo menjadi pengalaman yang mengesankan buat saya. Tak hanya keindahan alam atau binatang purbanya yang menarik perhatian, tetapi juga kebudayaan dari suku yang absen dalam kebisingan tentang pulau milik mereka sendiri.
Short URL: http://www.lenteratimur.com/?p=4145