Sade merupakan salah satu dusun tradisional yang masih asli. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bambu dengan atap dari daun alang-alang. Penghuninya berpencaharian sebagai petani. Jumlah mereka relatif tidak bertambah karena keluarga yang baru menikah kalau tidak mewarisi rumah orang tuanya akan membangun rumah di tempat lain. Disamping arsitektur rumah, sistim sosial dan kehidupan keseharian mereka masih sangat kental dengan tradisi masyarakat Sasak tempo dulu.
Jika di daerah lain mengenal Desa Wisata, maka di Pulau Lombok juga dapat ditemui hal serupa yakni di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB)
Dusun Sade dapat mewakili untuk disebut sebagai Desa Wisata di NTB ,layaknya Desa Wisata di daerah lain. Sebab, masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah Suku Sasak. Mereka hingga kini masih memegang teguh adat tradisi. Bahkan, rumah adat khas Sasak juga masih terlihat berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini.
Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok, NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu, Suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”.
Sedangkan kebudayaan Suku Sasak itu diantaranya terekam dalam rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat secara individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual.
Rumah adat Suku Sasak, jika diperhatikan dibangun berdasarkan nilai estetika dan kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat ritual adat dan ritual keagamaan.
Rumah adat suku Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek moyang mereka.
Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian. Rumah adat Sasak selain sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang, penunggu rumah dan sebagainya
Perubahan pengetahuan, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis dan topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisional.
Karena itu, untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku Sasak biasanya berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau tinggal didaerah setempat, maka harus membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, mereka dipersilahkan keluar dari kampung tersebut.
Pembangunan Rumah
Bahan pembuat rumah adat suku Sasak diantaranya kayu penyanggga, bambu, bedek untuk dinding, jerami dan alang-alang untuk atap, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran pengeras lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai bahan pengeras lantai.
Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu menentukan hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat.
Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijjah.
Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada Muharram dan Ramadhan. Menurut kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki dan lain-lain.
Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah. karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat kurang baik, seperti i bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, posisi tusuk sate (susur gubug).
Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq lenget).
Rumah adat Sasak pada atapnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah (pondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dinding dari bedek, hanya mempunyai satu ukuran kecil dan tidak ada jendela.
Ruangannya (rong) dibagi menjadi inak bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalam berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau empat persegi panjang. Sempare diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.
Ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Diantara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami.
Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari berbagai macam diantaranya Bale Tani, Bale Jajar, Barugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonder, Bale Beleq Bencingah dan Bale Tajuk. Nama bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing.
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani. Bale Jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya.
Barugaq/sekepat berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Barugaq biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Barugaq berfungsi tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Barugaq juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar/pacaran).
Sedangkan sekenam bentuknya sama dengan barugaq, hanya sekenam mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
Bale Bonder adalah bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki para pejabar desa, dusun/kampung. Bale bonder biasanya dibangun di tengah pemukiman atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat pesangkepan/persidangan atas, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat dan sebagainya.
Bale Beleq adalah satu sarana penting bagi sebuah kerajaan. Bale itu diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar kerajaan sehingga sering disebut juga “bencingah”.
Upacara kerajaan yang dilakukan di bale beleq adalah Pelantikan pejabat kerajaan, penobatan putra mahkota kerajaan, pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (pendita) kerajaan, tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen kerajaan dan sebagainya.
Bale Tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale Tajuk berbentuk segilima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga santana.
Bale Gunung Rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, bale balaq dibangun dengan tujuan menghindari bencana banjir. Oleh karena itu, biasanya berbentuk rumah panggung.
Selain bangunan itu, ada bangunan pendukung yakni Sambi, Alang dan Lumbung.
Sambi, tempat menyimpan hasil pertanian. Alang sama dengan lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian
, hanya alang bentuknya khas, beratapkan alang-alang dengan lengkungan 3/4 lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas.
Lumbung, tempat untuk menyimpan berbagai kebutuhan. Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang sebab lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar bangunan rumah.
Nilai-nilai
Jika diperhatikan, pembangunan rumah adat Suku Sasak sebenarnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara turun-temurun.
Atap rumah tradisional Sasak didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah.
Arah dan ukuran yang sama rumah adar Suku Sasak menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap manusia tidak akan sama. Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kareba semuanya merupakan rahmat Tuhan.
Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejwantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada pembangunan rumah adat masyarakat Sasak. (*)
www.antaramataram.com