welcome

We kindly serve you, find your identity in Indonesia

history

Indonesia has strong historical roots, has a priceless masterpiece

Floating market

The uniqueness is a part of Indonesian life

metropolitan

Indonesia has a magnificent way of life

culinary

have a high culinary taste since antiquity

pray

the source of all sources of life is god

Romantic

the source of all sources of life is god

Rabu, 23 November 2011

Sandal Tempo Dulu





Sandal Jepit "Lily"

Pernak pernik lama selalu mengundang perhatian karena bentuknya yang unik. Sandal Lily sandal lokal yang terlupakan...Mungkin sebagian dari anda yang masih muda-muda agak awam dengan merek alas kaki diatas. Bahkan rupa sandalnya pun tak pernah lihat? Banyak diantara kita, terutama yang berusia di atas 30 tahunan akan terkenang dengan merk "Lily"

Alas kaki yang disebutnya sandal Lily, produk yang tampaknya sudah lama ada pada dekade 1970-an, ketika sandal jepit pun masih mahal bagi masyarakat bawah, sehingga ke mana-mana nyeker. Sandal Lily ini biasa dipakai para tukang (tukang bangunan atau tukang kayu), makanya ada yang menyebutnya sebagai sandal tukang. Sandal lokal beenuansa tahun 70-80 an. Sandal rakyat, kata yang sinis. Sandal kampung, kata yang (sok) kota.

Seiring perkembangan zaman selalu diiringi dengan pergeseran gaya hidup. Memang pada zaman berjayanya Dr. Martens (yang palsu: Drs. Martens), Sandal jadul macam ini tampaknya sudah mulai jarang ditemui, untuk mendapatkannya gampang-gampang susah. Sandal ini terbuat dari plastik transparan. Modelnya bukan sandal jepit (untuk menyangkutkan kakinya) tetapi seperti kelom Jawa.

Sandal Lily #1






Sandal Jepit "Lily"

Pernak pernik lama selalu mengundang perhatian karena bentuknya yang unik. Sandal Lily sandal lokal yang terlupakan...Mungkin sebagian dari anda yang masih muda-muda agak awam dengan merek alas kaki diatas. Bahkan rupa sandalnya pun tak pernah lihat? Banyak diantara kita, terutama yang berusia di atas 30 tahunan akan terkenang dengan merk "Lily"

Alas kaki yang disebutnya sandal Lily, Produk yang tampaknya sudah lama ada pada dekade 1970-an, ketika sandal jepit pun masih mahal bagi masyarakat bawah, sehingga ke mana-mana nyeker. Sandal Lily ini biasa dipakai para tukang (tukang bangunan atau tukang kayu), makanya ada yang menyebutnya sebagai sandal tukang. Sandal lokal beenuansa tahun 70-80 an. Sandal rakyat, kata yang sinis. Sandal kampung, kata yang (sok) kota.

Seiring perkembangan zaman selalu diiringi dengan pergeseran gaya hidup. Memang pada zaman berjayanya Dr. Martens (yang palsu: Drs. Martens), Sandal jadul macam ini tampaknya sudah mulai jarang ditemui, untuk mendapatkannya gampang-gampang susah. Sandal ini terbuat dari plastik transparan. Modelnya bukan sandal jepit (untuk menyangkutkan kakinya) tetapi seperti kelom Jawa.

Buku Temp Dulu



Buku Tulis Cap Banteng

Memasuki tahun ajaran baru, buku tulis di berbagai toko buku mulai dibanjiri pembeli. Selain buku tulis, perlengkapan sekolah lainnya juga diburu para siswa dan calon siswa sekolah. Tak sengaja saya menemukan buku tulis kuno yang sampul nya sudah kusam di sebuah toko kelontong tua di Semarang, Jawa Tengah.

Buku tulis "Cap Banteng" pernah populer di Jawa Tengah pada dekade 1973 hingga 1980 an. Pada saat itu kebanyakan sampul buku tulis dengan desain batik bahkan ada juga terdapat gambar Garuda Pancasila. Namun perkembangan zaman teknologi grafika di Indonesia telah membuat banyak siswa sekolah meninggalkan buku merk ini. Kini mengikuti pergeseran idola, tokoh-tokoh kartun atau superhero semacam Spiderman, Batman, Naruto, Spongebob,dll lebih banyak ditemui dijual di toko buku, kelontong dan bahkan pedagang kaki lima.

Pabrik nya sendiri yang beroperasi sekitar tahun 1965 an ini sekarang sudah bangkrut, kalah bersaing dengan merk modern yang lebih varian desain maupun kualitas kertas nya. Sayang untuk dibuang, buku tulis ini mengingatkan kita akan kenangan masa kecil saat kita duduk dibangku sekolah dasar. Sudah jarang khan melihat buku tulis yang semacam ini ??

Rabu, 02 November 2011

Keindahan Danau Ranau tak terbantahkan lagi

Keindahan Danau Ranau tak terbantahkan lagi. Namun, letaknya yang jauh dari pusat kota, Palembang, membuat objek wisata ini ibarat “misteri”. Keindahannya tersaput kabut. Oleh karena itu, meskipun indah, wisatawan yang berkunjung ke sini masih bisa dihitung dengan jari. Sama seperti awal terbentuknya danau itu yang dilingkungi misteri. Kendati secara ilmiah terbentuk melalui sebuah proses alam, masyarakat setempat percaya ada misteri yang melatarbelakangi terciptanya danau ini.

Mencapai lokasi ini, selain dari Palembang, juga bisa dijangkau dari Provinsi Lampung. Danau Ranau merupakan danau terbesar dan terindah di Sumatera Selatan yang terletak di Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan (dahulu masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu). Berjarak sekitar 342 kilometer (km) dari Kota Palembang, 130 km dari Kota Baturaja, dan 50 km dari Muara Dua, ibu kota OKU Selatan, dengan jarak tempuh dengan mobil sekitar tujuh jam dari Kota Palembang. Sementara itu, dari Bandar Lampung, danau ini bisa ditempuh melalui Bukit Kemuning dan Liwa.

Secara geografis, danau ini terletak di perbatasan Kabupaten OKU Selatan, Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung Danau Ranau yang mempunyai luas sekitar 8×16 km dengan latar belakang Gunung Seminung (ketinggian ± 1.880 meter dpl), dikelilingi oleh bukit dan lembah. Pada malam hari, udara sejuk dan pada siang hari cerah suhu berkisar antara 20°-26° Celsius. Terletak pada posisi 4°51’45” Bujur Selatan dan 103°55’50” Bujur Timur.

Secara teori, danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung berapi yang membuat cekungan besar. Sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung berapi itu kemudian menjadi sumber air utama yang mengisi cekungan itu. Lama-kelamaan, lubang besar itu penuh dengan air. Kemudian, di sekeliling danau baru itu, mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak yang oleh warga setempat disebut ranau. Oleh karena itu, danau itu pun dinamakanl Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung Seminung yang berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.

Pada sisi lain di kaki Gunung Seminung, terdapat sumber air panas alam yang keluar dari dasar danau. Di sekitar danau ini juga dapat ditemui Air Terjun Subik. Tempat lain yang menarik untuk dikunjungi adalah Pulau Marisa yang terletak tidak jauh dari air panas.

Meskipun secara teori ilmiah diyakini danau ini terjadi akibat gempa tektonik, seperti Danau Toba di Sumatera Utara dan Danau Maninjau di Sumbar, sebagian besar masyarakat sekitar masih percaya danau ini berasal dari pohon ara. Konon, di tengah daerah yang kini menjadi danau itu, tumbuh pohon ara yang sangat besar berwarna hitam.

Masyarakat dari berbagai daerah, seperti Ogan, Krui, Libahhaji, Muaradua, dan Komering berkumpul di sekeliling pohon. Mereka mendapat kabar, jika ingin mendapatkan air, harus menebang pohon ara tersebut.

Persis saat akan menebang pohon, mereka bingung bagaimana cara memotongnya. Ketika itulah, muncul burung di puncak pohon yang mengatakan untuk memotong pohon harus membuat alat mirip kaki manusia. Akhirnya, pohon ara pun tumbang. Dari lubang bekas pohon ara itulah keluar air dan akhirnya meluas hingga membentuk danau. Sementara itu, pohon ara yang melintang membentuk Gunung Seminung.

Kondisi ini membuat jin yang tinggal di Gunung Pesagi meludah hingga membuat air panas di dekat Danau Ranau. Serpihan batu dan tanah akibat tumbangnya pohon ara menjadi bukit yang ada di sekeliling danau.

Di samping itu, masih di sisi Danau Ranau, tepatnya di Pekon Sukabanjar, terdapat kuburan yang diyakini masyarakat sebagai makam Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Makam keduanya terletak di kebun warga Sukabanjar bernama Maimunah. Untuk menuju ke lokasi, selain naik perahu motor dari Lombok, bisa juga dengan berkendaraan. Menurut juru kunci kuburan, H Haskia, di sini terdapat dua buah batu besar. Satu batu telungkup yang diyakini sebagai makamnya Si Pahit Lidah dan satu batu berdiri sebagai makamnya Si Mata Empat.

Si Pahit Lidah yang oleh masyarakat disebut sebagai Serunting Sakti berasal dari Kerajaan Majapahit. Karena nakal, raja mengusir Si Pahit Lidah yang bernama asli Raden Sukma Jati ini ke Sumatera. Si Pahit Lidah pun menetap di Bengkulu, Pagaralam, dan Lampung. Si Pahit Lidah memiliki kelebihan. Apa pun yang dikemukakannya terkabul menjadi batu. Akibatnya, Si Mata Empat yang berasal dari India mencarinya hingga bertemu di Lampung, tepatnya di Way Mengaku.

Di sini keduanya saling mengaku nama. Lalu, keduanya beradu ketangguhan, di antaranya memakan buah yang bentuknya seperti aren. Ternyata buah aren itu pantangan bagi Si Pahit Lidah sehingga akhirnya dia tewas. Si Mata Empat yang mengetahui lawannya tewas tidak percaya dan mencoba menjilat lidahnya agar ilmunya bisa diserap. Akhirnya, dia pun tewas.

Begitulah Danau Ranau. Objek wisata yang sebenarnya menjanjikan. Sayangnya, hingga kini wisatawan masih belum banyak yang menikmatinya.

Selasa, 01 November 2011

10 Sarapan Khas Orang Indonesia

1. Nasi Kuning
1 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Nasi kuning adalah makanan khas Indonesia. Makanan ini terbuat dari beras yang dimasak bersama dengan kunyit serta santan dan rempah-rempah. Dalam tradisi Indonesia warna nasi kuning menggambarkan kekayaan, kemakmuran serta moral yang luhur. Oleh sebab itu nasi kuning sering disajikan pada peristiwa syukuran dan peristiwa-peristiwa gembira seperti kelahiran, pernikahan dan tunangan.
2. Nasi Pecel
2 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Pecel adalah makanan khas Kota Madiun Jawa Timur Indonesia yang terbuat dari rebusan sayuran berupa bayam, tauge, kacang panjang, kemangi, daun turi, krai (sejenis mentimun) atau sayuran lainnya yang dihidangkan dengan disiram sambal pecel. Konsep hidangan pecel ada kemiripan dengan salad bagi orang Eropa, yakni sayuran segar yang disiram topping mayonaise. Hanya saja untuk pecel toppingnya sambal pecel.
3. Lontong Sayur
3 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Lontong jenis ini penyebarannya banyak sekali di Indonesia. Mulai dari lontong sayur Medan sampai yang merayakan Cap Gomeh. Bahannya ya lontong, santan, kacang panjang, bawang goreng, dan lauknya tergantung selera Anda. Tahu bisa, ayam bisa, ikan juga masuk.
4. Mie
4 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Mie adalah menu untuk orang yang inginnya cepat, praktis, murah meriah, dan tidak jago masak. Kadang suka disajikan dengan telor rebus, telor ceplok, ayam, atau pentol bakso. Tapi banyak juga yang asli tidak memakai lauk pauk.
5. Nasi Krawu
5 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Nasi Krawu adalah makanan khas kota Gresik. Makanan ini merupakan campuran dari nasi dan daging sapi dengan kadar minyak yang termasuk tinggi. Ada pula yang menambahkan dengan rempelo (usus, babat, dll), cingur, bahkan mata sapi. Makanan ini tidak memakai sayur-sayuran. Hal yang menarik dari nasi krawu adalah meskipun nasi ini khas Gresik tapi semua penjualnya adalah orang madura.
6. Nasi Kucing
 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Nasi kucing (atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan “segÃ¥ kucing” bukanlah suatu menu tertentu tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada warung angkringan. Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Nasi kucing adalah sebentuk nasi rames, dengan menu bermacam-macam: tempe kering, teri goreng, sambal goreng, babat, bandeng, usus, kepala atau cakar ayam serta sate telur puyuh, yg semakin nikmat kalau dibakar dahulu sebentar sebelum disajikan. Nasi kucing dikenal di berbagai tempat di Jawa Tengah (termasuk Yogyakarta) dan sangat populer di kalangan mahasiswa karena harganya lumayan murah untuk ukuran kantong anak kos, selain itu rasanya juga pas di lidah orang Indonesia.
8. Bubur Ayam
8 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Bubur ayam memang favorit banyak orang. Mulai dari anak kecil, remaja, sampai orang dewasa, semua suka bubur ayam. Istilahnya kalo sarapan bubur itu “sabu”, tak lain dari “sarapan bubur”.
9. Nasi Liwet
9 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Nasi liwet adalah makanan khas kota Solo. Nasi liwet adalah nasi gurih (dimasak dengan kelapa) mirip nasi uduk, yang disajikan dengan sayur labu siam, suwiran ayam (daging ayam dipotong kecil-kecil) dan areh (semacam bubur gurih dari kelapa).
Penduduk kota Solo biasa memakan nasi liwet setiap waktu mulai dari untuk sarapan, sampai makan malam. Nasi liwet biasa dijajakan keliling dengan bakul bambu oleh ibu-ibu yang menggendongnya tiap pagi atau dijual di warung lesehan (tanpa kursi). Tempat paling terkenal untuk penjualan nasi liwet (warung lesehan) adalah di daerah Keprabon yang hanya berjualan pada malam hari.
10. Nasi Jagung
10 10 Jenis Sarapan Orang Indonesia
Nasi jagung (Nasek ampog) adalah variasi nasi khas bagi masyarakat Madura. Nasi ini terdiri dari nasi putih yang dicampur dengan biji jagung yang telah dimasak bersama dengan nasi tersebut. Nasi jagung sama dengan nasi putih biasa dimakan dengan lauk-pauk lainnya. Nasi ini juga pengganti makan nasi buat penderita diabetes.

Keindahan Pulau Kanawa, Nusa Tenggara Timur


Pulau-pulau kecil, bak mutiara, menjalin Indonesia menjadi negara kepulauan nan indah. Pulau Kanawa di Kepulauan Komodo, Nusatenggara Timur, salah satu dari mutiara itu. Birunya laut yang jernih, indahnya terumbu karang, dan kesunyian yang menenangkan bisa dinikmati dengan biaya relatif murah.

Nama Pulau Kanawa pertama kali saya ketahui saat berada di ruang bagasi Bandara Komodo, Labuanbajo. Flores, Nusatenggara Timur. Beberapa poster yang mempromosikan penginapan di Labuanbajo dan sekitarnya tertempel di tembok. Saya agak bingung untuk memilih, berhubung ini kunjungan pertama di Labuanbajo.

Saat pintu keluar dibuka, serombongan laki-laki langsung masuk berhamburan. Mereka berebut menawarkan prospektus hotel. Hans, salah satu di antaranya, yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, dengan antusias menawarkan Kanawa.

"Hanya Rp 50.000,- per malam termasuk makan pagi, ongkos antar-jemput di Labuanbajo, dan sewa alat snorkel. Hanya 40 menit dari Labuanbajo dengan kapal. Anda tidak akan kecewa, tempat ini benar-benar indah dan tenang," janji Hans meyakinkan.

Berbekal air mineral

Terpukau dengan promosi Hans, saya dan teman dari Jerman, memutuskan ke Kanawa. Hans mengantar kami dengan mobil ke Labuanbajo, sekitar 20 menit dari bandara. Gratis.

Setiba di rumah makan di Labuanbajo, hujan deras turun. Sambil menunggu hujan reda, kami menikmati masakan ikan barakuda. Sayangnya, hujan baru berhenti pukul 14.00 lewat. Akibatnya, kami tertinggal kapal jemputan ke Kanawa yang biasa menjemput tamu pukul 12.00. Cara satu-satunya, menyewa sendiri kapal ke Kanawa dengan biaya Rp 60.000,-.

Kami berbekal air mineral botol cukup banyak, karena di Kanawa air minum mahal. Kapal bergerak meninggalkan Labuanbajo, kota nelayan di barat Flores. Perjalanan melalui laut sehabis hujan menyenangkan. Awan menyisih memberikan jalan bagi sinar matahari. Langit kelabu membuat pantulan air laut tidak menyilaukan mata. Pemandangan sekitar tampak jelas, menunjukkan betapa banyaknya gugus pulau di Kepulauan Komodo. Pulau-pulau kecil tandus itu berbentuk kerucut.

Setelah satu jam berayun-ayun di perairan Kepulauan Komodo, Kanawa mulai tampak di kejauhan. Bukitnya ditumbuhi perdu, rumah panggung kayunya berjajar rapi, demikian pula pohon-pohon rindang yang berbaris teratur. Di bawah lautnya yang jernih dan beralas terumbu karang kami mengintip ikan-ikan berkejaran.

"Stop!" sang kapten berteriak mengagetkan. Rupanya lambung kapal hampir mengenai terumbu karang. Memang, Pulau Kanawa dikeliling hamparan terumbu karang. Saat laut surut, tidak ada kapal dapat merapat di pantainya. Menjelang Pulau Kanawa, sekoci kecil datang menjemput. Sedangkan kapal kami, kembali berlayar ke Labuanbajo.


Kamar mandi tak beratap

Jalan menuju setiap bungalo dibatasi dengan barisan apik cangkang karang bercat putih. Pepohonan rindang meneduhi hamparan pasir putih. Satu-dua di antara batang pohon dipasang hammock untuk bermalas-malasan.

Bungalo itu berupa rumah panggung beralas papan. Hanya ada satu ruang untuk tidur seluas kurang lebih 4 x 4 m berdinding gedek dan beratap genting. Di dalam kamar disediakan sebuah dipan yang dilengkapi kelambu. Sebuah lampu pijar menempel di tembok dekat jendela yang menghadap pantai. Di balkon ada dua kursi yang catnya agak kusam, sebuah meja, serta tali jemuran. Sederhana tapi memadai untuk beristirahat. Terasa tenang, apalagi hanya tiga meter di depan balkon terhampar pantai pasir putih dengan laut biru sebening kaca.

Kamar mandi dan WC terletak di luar, di samping bangunan, sejajar dengan tanah dan tanpa atap. Namun, jangan takut diintip, karena kamar mandi dikelilingi tembok. Untuk mandi disediakan bak penampung air tawar yang dialirkan melalui keran, tapi untuk menyiram WC ada seember air laut. Tampak jelas imbauan menghemat air tawar terpampang di kamar mandi. Tidak heran, karena pengelola Kanawa harus membeli air tawar dari Labuanbajo untuk keperluan memasak dan mandi para tamu.

Menjelang senja, kami menunggu dengan penuh harap tergelincirnya matahari menuju peraduan malam. Sayangnya, awan mengalangi pandangan, memupus harapan itu.

Deru mesin genset mulai terdengar begitu malam datang. Genset memang satu-satunya sumber energi listrik di Kanawa. Untuk penerang, di Kanawa dipakai lampu petromaks yang akan sedikit menghangatkan setiap bungalo yang berpenghuni. Berbeda dengan Kanawa yang sepi kilauan lampu, di kejauhan pulau tetangga, P. Mesah, ramai dengan kelip pendar lampu.

Restoran menjadi tempat sosialisasi di malam hari. Beberapa turis asing asyik mengobrol, main kartu, ataupun minum-minum. Harga hidangan yang ditawarkan restoran bisa dibilang ekonomis. Mengingat sayuran dan bahan makanan harus dibeli di Labuanbajo, bahkan dipesan dari Bali. Seporsi cah kangkung Rp 10.000,- dan satu porsi kari ayam Rp 20.000,-.

Kegiatan malam berakhir, kala angin bertiup makin kencang. Sebagian besar tamu kembali ke penginapan masing-masing, menyisakan sunyi. Yang terdengar, tinggal gemerisik daun-daun diterpa angin.


"Akuarium" raksasa

Pagi hari, pemandangan sebelum matahari keluar dari persembunyiannya sungguh mengagumkan. Langit gelap perlahan-lahan beralih kemerahan, menjadi jingga, dan akhirnya terang-benderang. Air pasang semalam meninggalkan tumbuhan makroalga yang menggeletak di sepanjang garis pantai. Petugas bungalo mulai menyapu membersihkan sisa-sisa tumbuhan itu, sambil menyapa para tamu yang baru bangun.

Hanya bagian selatan pulau ini yang dihuni. Bagian utara, yang dipisahkan dengan bukit, adalah pantai dengan terumbu karang yang lebih luas. Nama Kanawa sendiri adalah nama pohon. Entah mengapa, pulau ini disebut demikian.

Haji Idris, pemilik bungalo asal Labuanbajo, membangun resor di Kanawa kira-kira sembilan tahun lalu. Saat tidak ada tamu, penghuni pulau seluas sekitar 3 km2M itu hanya tujuh orang, yakni para petugas resor.
Pukul 09.00 sinar matahari sudah menyengat. Inilah saat terbaik untuk snorkeling sebelum matahari makin tinggi. Setelah sarapan pancake dan teh hangat di restoran, kami mengambil fin (sepatu katak) dan masker, siap ber-snorkeling.

Di tepi pantai dengan mata telanjang sekalipun tampak jelas dasar laut yang berpasir putih serta kawanan ikan-ikan kecil yang berenang bebas. Saat ber-snorkel, rasanya seperti masuk akuarium raksasa.

Pertama kali muncul bintang laut berduri. Makhluk berwarna merah-kuning dengan diameter 20 cm itu bertebaran kira-kira 3 m dari garis pantai. Makin menjauhi pantai, kurang lebih 20 m, terbentang hamparan luas gugus terumbu karang dengan ratusan jenis ikan. Anemon laut, karang Arcopora, kepiting kecil, kerang, dan udang kecil hidup aman tak terusik. Kawanan ikan terumbu karang dengan warna-warni cerah mencolok mata berenang kian-kemari. Sementara kawanan yang lain asyik menyantap alga yang tumbuh di terumbu karang. Bila jeli, terlihat pula ular laut loreng merah hitam menyelinap di antara bebatuan. Pemandangan di "akuarium" raksasa itu memang membetahkan.

Namun, jangan pula berlama-lama di air, mengingat matahari bersinar sangat ganas pada tengah hari. Buktinya, begitu muncul di permukaan, kulit terasa panas. Tak terasa satu jam lebih berlalu untuk menyaksikan keindahan terumbu karang.

Kalaupun tak berminat terjun ke laut, kegiatan lain yang pantang dilewatkan adalah melihat budidaya mutiara, penangkaran hiu, red snapper, dan ikan napoleon di "rumah" Ayung, pengelola bungalo. Ikan-ikan itu dipisahkan satu sama lain dengan jala. Hiu yang ditangkar adalah hiu yang masih muda. Nantinya ikan-ikan itu diekspor ke Hong Kong. Yang dimaksud dengan rumah di sini adalah bangunan panggung di lepas pantai Kanawa, kurang lebih 10 m dari pantai. Di sana, di tengah laut itu, Ayung tinggal bersama keluarganya.


Berpetualang ala Robinson Crusoe

Bila bukan musim libur, menginap di Kanawa seperti menginap di pulau pribadi. Mau berenang, memancing, berjemur sepuasnya, atau bermalas-malasan seharian di bawah ayunan pohon, dijamin tidak akan ada yang mengganggu. Jangan harap hal itu terjadi di musim liburan, karena bungalo penuh tamu.

Letak Kanawa terasing dan jauh dari kebisingan. Hampir tidak ada perahu atau kapal melintasi Kanawa, kecuali kapal antar-jemput tamu. Yang lebih membuat terasing adalah sulitnya alat komunikasi. Radio panggil menjadi satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan Kanawa dengan dunia luar. Dapat dibayangkan sunyinya kehidupan di Kanawa.

Saking sunyinya, di siang hari hanya terdengar kicau burung yang bertengger di bawah pohon kersen ataupun sayup-sayup suara percakapan atau canda petugas bungalo.

Meski suasana sangat santai, damai, dan tenang, jangan dikira Kanawa hanya untuk bermalas-malasan. Dunia petualangan ala Robinson Crusoe siap menantang.

Menurut Ayung, beberapa waktu lalu sepasang turis asal Inggris ingin berkemah di balik bukit. Mereka pun mendaki untuk mencapai dataran di balik bukit dan bermalam di sana di bawah tenda. Esok paginya mereka berenang untuk kembali ke bungalo. Kedengarannya mengasyikkan.

Merasa tertantang, dengan panduan Karim, petugas resor, kami pun mendaki bukit kecil di balik penginapan. Meski tinggi bukit tidak lebih dari 200 m, jangan lupa membawa persediaan air minum karena terik surya cepat mengundang haus. Butuh sedikit perjuangan untuk mendaki bukit yang padat ditumbuhi alang-alang tajam. Tapi, begitu tiba di atas, kepenatan terlupakan. Pemandangan Kanawa dan kepulauan sekitarnya sangat spektakuler.

Tampak jelas perairan warna air laut beralih dari biru muda menjadi biru tua, serta peralihan dari perairan dangkal ke dalam. Dari tempat ini pun kita dapat menikmati matahari terbenam. Nun jauh, terlihat lekuk-lekuk pulau-pulau yang mulai gelap tersapu awan.

Bagi pencinta hidangan laut, Kanawa bagai surga. Dengan memesan sebelumnya, makan malam dengan hidangan seperti cumi-cumi, ikan kakap, red snapper, lobster, ataupun kerang hasil tangkapan siang hari dapat dinikmati dengan harga lumayan murah. Misalkan, 1 kilogram lobster yang sudah diolah harganya Rp 75.000,-.

Memungut bintang laut kala surut

Kami beruntung dapat menikmati bulan purnama di Kanawa. Menjelang sore, saat laut surut. Terbentang daratan dadakan, yang biasanya terendam air laut, sampai kira-kira 10 m dari garis pantai. Namun, lebih dari itu banyak karang tajam mengadang. Bintang laut dan kepiting kecil berserakan di sana-sini. Sementara kapal yang tadinya mengapung di air, kini tampak terpaku kaku di daratan.

Masih saat bulan purnama yang berlangsung tiga malam berturut-turut. Selepas magrib nun di kejauhan tampak barisan lampu berkelap-kelip. Rupanya nelayan penduduk P. Mesah, yang berjarak sekitar 30 menit dengan perahu motor dari Kanawa, tengah menjalankan ritual menangkap ikan. Ritual itu mereka lakukan setiap purnama tiba. Sebuah pemandangan mengasyikkan dari jauh.

Di malam hari langit terasa begitu dekat. Udara bersih membuat kerlip bintang selatan memancar terang. Sepanjang zaman tak kenal bosan debur ombak pelahan menampar bibir pantai. Di Kanawa, sang waktu memang terasa panjang. Malam menunggu siang, siang menunggu malam. Kanawa, memang tempat tepat mencari tenang.


Suku Komodo, Sunyi di Tengah Ingar-Bingar

Secara fisik, masyarakat Suku Komodo memang berkulit lebih cerah ketimbang masyarakat Flores yang berkulit lebih gelap. Bahasa yang mereka gunakan pun berbeda, baik secara logat hingga perbendaharaan kata. Padahal, secara teritorial, mereka berada dalam satu daerah administrasi yang sama.

Di Desa Komodo, masyarakat Suku Komodo merupakan mayoritas, sedang sisanya adalah peranakan Bugis atau Bima. Penduduk di sini rata-rata berprofesi sebagai nelayan. Sebagian kecil bekerja sebagai pembuat dan penjual suvenir khas pulau Komodo. Ada pula beberapa anak muda yang bekerja di restoran di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

Hal ihwal mengenai Suku Komodo yang memiliki populasi sekitar dua ribu orang memang luput dari perhatian masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun belakangan ada hajatan seperti “New 7 Wonders of Nature” yang memasukkan binatang purba komodo (varanus komodoensis) yang ada di sana sebagai nominator, nasib dan kehidupan komunitas tradisi yang mendiami kawasan tersebut jarang terbahaskan.

Asal usul nama Suku Komodo sendiri sebetulnya merujuk pada seorang perempuan. Syahdan, dalam sebuah cerita rakyat (folklore)suku Komodo, ada seorang putri dari dunia mistis yang tinggal di Pulau Komodo. Putri tersebut dipanggil dengan sebutan Putri Naga. Putri itu menikah dengan seorang manusia bernama Majo. Dari pasangan itu, lahirlah sepasang bayi kembar, lelaki dan perempuan.

Bayi lelaki yang berwujud manusia diberi nama Gerong, dan dibesarkan diantara manusia lain. Sedangkan bayi perempuan yang berbentuk komodo diberi nama Orah. Orah dilepaskan dan tumbuh besar di hutan. Tapi, kedua anak itu sama-sama tak tahu kalau mereka memiliki saudara.

Suasana pagi yang memikat.

Suatu hari, Gerong sedang berburu rusa di hutan. Ketika akan mengambil rusa buruannya, seekor kadal besar muncul dari semak-semak dan menyantap rusa hasil buruan Gerong. Gerong yang terkejut segera mengambil tombaknya dengan maksud membunuh kadal besar itu.

Tiba-tiba saja sang ibu muncul.

“Jangan membunuh binatang itu. Dia adalah Orah, saudara perempuanmu. Aku melahirkan kalian bersamaan. Anggaplah dia sebagai sesamamu, karena aku melahirkan kalian” kata sang Putri Naga.

Sejak saat itu, manusia Suku Komodo keturunan Gerong hidup rukun dengan para komodo keturunan Orah. Karena itu pula, para penjaga hutan di Taman Nasional Pulau Komodo adalah masyarakat Suku Komodo. Suku Komodo dipercaya bisa berkomunikasi dengan komodo

Saat ini, cerita rakyat mengenai asal usul Suku Komodo seperti menguap. Kisah-kisahnya seperti berada di titik nadir dalam ingatan masyarakat. Malam itu, di rumah Kasim, 45 tahun, salah seorang tetua Suku Komodo, kami, bersama Muchdar, memakan cumi bakar dan ikan bakar sembari membincangkan kebudayaan Suku Komodo.

“Sampai saat ini masih belum ada yang mendokumentasikan kebudayaan Suku Komodo” ujar Muchdar.

Menurut pria muda ini, kisah-kisah mengenai Suku Komodo sudah hampir punah. Jarang ada yang ingat dengan cerita asal usul tersebut. Untuk mengantisipasi kepunahan, ia pernah mencatat dengan tulisan tangan hampir seluruh cerita rakyat Suku Komodo. Sayangnya, catatan di buku tulis itu sudah hilang dan ia tak pernah menuliskannya lagi.

Generasi baru Suku Komodo.

Ancaman kepunahan kisah mengenai Suku Komodo juga dibenarkan oleh Kasim yang rumahnya menjadi tempat saya menginap selama berada di Pulau Komodo. Pria berkumis tebal bersuara berat yang tampak bijaksana ini mengatakan bahwa tak ada orang Indonesia yang pernah mendokumentasikan tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat Suku Komodo. Alih-alih orang Indonesia, yang melakukan pendokumentasian tersebut justru beberapa turis dari Amerika Serikat dan Jepang.

Nasib kebudayaan Suku Komodo yang dahulu bagian dari teritori Kerajaan Bima ini juga semakin terbayang ketika anak-anak kecil Suku Komodo sudah mulai jarang menggunakan bahasa ibunya. Mereka sekarang lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Belum lagi para remajanya yang bekerja di Labuan Bajo. Mereka lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk bercakap. Identitas yang berubah juga tampak dari beberapa remajanya yang menggunakan anting di telinga kiri, pakaian ala distro, celana ketat, rambut, rambut tegak di tengah, dan selera musik.

***

Untuk mencapai Pulau Komodo pada pertengahan 2010, dari Bima, Nusa Tenggara Barat, saya menumpang sebuah truk hingga ke Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah sebuah kota pelabuhan di Flores yang sekilas Nampak seperti Marrakesh, yang juga sebuah kota pelabuhan di negeri Maroko. Di sini, saya bermalam di sebuah masjid.

Memilih pergi ke Pulau Komodo dengan cara yang murah meriah memang cukup mengasyikkan. Apalagi, untuk seorang pelancong seperti saya, paket-paket wisata yang ditawarkan harganya cukup mahal. Rata-rata, pihak travel itu mematok harga Rp. 400 ribu sampai Rp. 1 juta rupiah untuk perjalanan pulang pergi Labuan Bajo – Pulau Komodo. Sementara, untuk menyeberang dengan kapal milik penduduk, saya yang masih muda dan membawa barang-barang banyak dihitung sebagai pelajar dengan tarif Rp. 20 ribu. Kalau penumpang umum, tarifnya adalah Rp. 40 ribu.

Usai fajar subuh, sendiri saya berjalan ke pelabuhan. Di sana saya mencari kopi dan teman untuk mengobrol. Saya berkenalan dengan Om Gendut, seorang penjual mainan yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Dari info yang ia berikan, saya tahu bahwa setiap hari ada sebuah kapal milik penduduk Desa Komodo yang mengantarkan penduduk Desa Komodo ke Labuan Bajo. Biasanya kapal itu sudah merapat di Labuan Bajo pada pukul 8 WIT. Setelah itu, kapal akan kembali ke Desa Komodo pada pukul 12 WIT.

Senja di Desa Komodo.

Waktu tempuh Labuan Bajo – Pulau Komodo adalah sekitar empat jam. Selama perjalanan, kegiatan yang paling mengasyikkan tentu saja mengobrol dengan penduduk Desa Komodo. Mereka ramah dan suka bercerita. Di sinilah saya bertemu dengan Kasim yang menawari saya menginap di rumahnya.

Menjelang petang, perahu yang saya tumpangi merapat ke dermaga Desa Komodo. Saya melihat, Desa Komodo hampir mirip dengan desa nelayan yang pernah saya kunjungi. Tak jauh beda dengan, katakanlah, kampung nelayan di Pulau Derawan, Kalimantan Timur, atau di Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat.

Anak-anak Desa Komodo yang tampaknya tak biasa melihat turis langsung mengerubungi saya dan minta dipotret. Saya merasa betapa lucu dan polosnya mereka. Mungkin mereka jarang melihat ada orang asing memasuki kawasan mereka. Sebab, para wisatawan yang mulai membanjiri Pulau Komodo sejak dinominasikan sebagai salah satu “New 7 Wonders of Nature” lebih banyak tinggal di resort atau menginap di kapal yang lepas sauh di tengah laut. Dan setelah menghabiskan beberapa menit untuk sesi foto, saya langsung menuju rumah Kasim.

Di rumah Kasim, saya mendapatkan satu kamar kosong dengan dua buah kasur. Rumahnya berbentuk rumah panggung bertingkat dua dengan kayu sebagai bahan utama. Lantai bawah digunakan sebagai ruang bersantai dan ruang makan. Sementara, ruang atas adalah ruang tamu dan kamar – yang saya tempati.

Suasana Desa komodo yang tenang.

Bentuk rumah Kasim memang menjadi tipikal di Pulau Komodo. Di sini, hampir semua rumahnya bertingkat dengan pola rumah panggung khas Bugis dan atap yang bersilang khas Bima. Namun demikian, bangunan rumah ini bukan sekedar bangunan. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya, yakni Sabalong Samalewa, yang artinya adalah sama tinggi sama rata. Sebagaimana model rumah-rumah panggung yang tersebar di seantero Indonesia, rumah panggung Suku Komodo berfungsi untuk menghindari kemungkinan masuknya komodo ke dalam rumah.

Di sini, parabola menjadi pemandangan yang lumrah di rumah-rumah penduduk. Sebab, tanpa teknologi itu, memang tak ada siaran televisi yang bisa tertangkap. Meski demikian, setiap hari listrik baru menyala dari generator setelah pukul 18 WIT.

Berpetualang ke Pulau Komodo menjadi pengalaman yang mengesankan buat saya. Tak hanya keindahan alam atau binatang purbanya yang menarik perhatian, tetapi juga kebudayaan dari suku yang absen dalam kebisingan tentang pulau milik mereka sendiri.

Short URL: http://www.lenteratimur.com/?p=4145